Selasa, 10 Juli 2012

BAB XIII HAM DAN DEMOKRASI



BAB-XX
HAK ASASI MANUSIA DAN DEMOKRASI DALAM

A.    Hak Asasi Manusia dalam Islam
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Hak diartikan sebagai kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Adapun asasi bermakna segala sesuatu yang bersifat dasar, prinsip dan fundamental yang selalu melekat pada obyeknya. Sedangkan manusia diartikan sebagai makhluk yang berakal budi. Jadi berdasarkan analisis semantik dari berbagai kata kunci di atas, maka dapat dipahami bahwa hak asasi manusia adalah sesuatu yaang senantiasa melekat dan paling fundamental bagi manusia. Dengan ungkapan lain, hak asasi manusia adalah suatu hak dasar yang melekat pada diri tiap manusia.
Secara umum, pembagian bidang, jenis dan macam hak asasi manusia dunia adalah sebagai berikut:
  1. Hak asasi pribadi / Personal Right
a)      Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah tempat;
b)      Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan;
c)      Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.
  1. Hak asasi politik / Political Right
a)      Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan;
b)      Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan;
c)      Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya;
d)     Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
  1. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
a)      Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan;
b)      Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns;
c)      Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum;
  1. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
a)      Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli;
b)      Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak;
c)      Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll;
d)     Hak kebebasan untuk memiliki susuatu;
e)      Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak.
  1. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
a)      Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan;
b)      Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
  1. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
a)      Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan;
b)      Hak mendapatkan pengajaran;
c)      Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
Jika dibandingkan antara hak asasi manusia dari sudut pandang Barat dan Islam, maka terdapat perbedaan. Hak asasi manusia menurut pemikiran Barat semata mata bersifat antroposentris, artinya, segala sesuatu berpusat pada manusia. Adapun hak asasi manusia dilihat dari sudut pandang Islam bersifat teosentris, artinya, segala sesuatu berpusat kepada Tuhan. Ini bermakna bahwa dalam Islam, manusia pertama-pertama harus meyakini ajaran pokok Islam yang dirumuskan dalam dua kalimat syahadat yakni pengakuan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Barulah setelah itu manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, menurut isi keyakinannya itu.
 Hak-hak asasi manusia memperoleh landasannya dalam Islam melalui ajarannya yang paling utama, yailu tauhid (mengesakan Tuhan). Karena itu, hak-hak asasi manusia dalam Islam lebih dipandang dalam perspektif theosentris. Walau demikian, ajaran tauhid tersebut berimplikasi pada keharusan prinsip persamaan, persaudaraan dan keadilan antar sesama manusia, dan prinsip kemerdekaan dan kebebasan manusia. Prinsip-prinsip tersebut telah menjadi landasan bagi pembentukan peradaban masyarakat Muslim awal, sehingga menempatkan dunia Islam beberapa abad di depan Barat.
Lebih jauh, setidaknya ada dua hal yang menjadi dasar hak-hak asasi manusia dalam al-Qur’an. Dasar pertama, yakni Allah menjadikan manusia sebagai mustakhlif di muka bumi. Ini berarti manusia resmi diberi amanat. Ini berarti manusia resmi diberi amanat sebagai refresentasi Tuhan (khalifah) di muka bumi. Dalam menjalankan amanat sebagai khalifah, tugas pokok dan fungsional yang harus diemban manusia adalah melaksanakan hukum Tuhan di muka bumi dengan cara yang benar. Implikasinya adalah terdapat hak-hak civil berupa hak-hak politik (siyasi) pada diri setiap individu. 
Dasar kedua, bahwa Allah menjadikan manusia sebagai musta’mir di muka bumi. Ini sekaligus menunjukkan tugas manusia sebagai pembangun bumui. Ini sekaligus menunjukkan tugas manusia sebagai pemakmur/pembangun bumi. Ini berimplikasi bahwa manusia memiliki hak-hak asasi.
Hak-hak asasi manusia dalam Islam dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama hak-hak Allah (huququllah), yaitu hak-hak manusia terhadap Allah swt yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah. Kedua, hak-hak manusia (huququl’ibad), yaitu kewajiban-kewajiban manusia terhadap sesamanya dan terhadap makhluk-makhluk Allah lainnya. Termasuk hak ini adalah hak al-Istiqrar, yaitu hak untuk menetap dan berdiam dimuka bumi dan hak hak al-Istimta, yaitu hak untuk memanfaatkan fasilitas yang ada di muka bumi sebagai rezeki Tuhan.     
Secara detail, dalam WAMY Series On Islam memerinci hak-hak asasi manusia di Negara Islam, yaitu:
1.      Perlindungan harta dan jiwa, ini sebagaimana ditegaskan dalam pesan Nabi saat haji wada’, “Harta dan jiwamu haram bagi yang lain hingga hari kebangkitan;
2.      Perlindungan atas kehormatan, dalilnya adalah surat Al-Hujurat (49): 11-12;
3.      Kesucian dan jaminan atas kehidupan dan rahasia pribadi;
4.      Perlindungan atas kemerdekaan pribadi;
5.      Hak menyanggah penguasa yang zalim;
6.      Kebebasan menyatakan pendapat;
7.      Kebebasan berserikat;
8.      Kebebasan menganut agama, sebagaimana bunyi surat Al-Baqarah (2) ayat 256;
9.       Perlindungan atas perasaan keagamaan;
10.  Perlindungan dari tindakan penahanan yang sewenang-wenang, hal ini ditegaskan dalam surat Al-An’am (6): 164;
11.  Hak atas pemenuhan hidup, dalilnya dalam surat Adz-Dzariyat (51): 19.

B.     Konsep Demokrasi dalam Islam
Demokrasi secara etimologi berasal dari kata Yunani, demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa. Sehingga secara asal katanya demokrasi berarti “rakyat berkuasa” (government or rule by the people). Adapun secara istilah, maka dikenal bermacam-macam istilah demokrasi. Ada yang dinamakan demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet, demokrasi nasional, dan sebagainya. Demokrasi secara harafiah merupakan sistem pemerintahan yang sangat membuka pintu lebar-lebar kepada arus akuntabilitas publik. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang memberikan penekanan pada fungsi kontrol atau dengan kata lain check and balance dari semua pos-pos kekuasaan yang ada. Dari sini diharapkan akan lahir keadilan (justice) yang secara mekanistik memberikan kebaikan kepada seluruh elemen masyarakat. Hal ini mengakibatkan bahwa demokrasi merupakan system pemerintahan yang anti otoritarianisme dan kemungkinan kolusi/konspirasi yang sangat mungkin muncul dalam system monarki dan oligarkhi.
Adapun defenisi demokrasi Islam, maka Wikipedia Indonesia mendefenisikan Demokrasi Islam sebagai ideologi politik yang bertujuan untuk menerapkan prinsip-prinsip agama Islam ke dalam kebijakan publik. Ideologi ini muncul pada awal perjuangan pembebasan atas daerah di mandat Britania atas Palestina kemudian menyebar akan tetapi di sejumlah negara-negara dalam pratiknya telah mencair dengan gerakan sekularisasi.

C.    Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Islam
Berbicara tentang sistem kenegaraan atau pemerintahan dalam Islam harus dibedakan antara teori dan praktek. Maksud teori adalah konsep-konsep yang ditulis dalam nash (Al-qur,an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.) sementara dalam praktek adalah adalah praktek yang dilakukan kaum muslimnin sepanjang sejarah muslim. Perbedaan ini penting dipahami terlebih dahulu, sebab dalam banyak kasus, sistem pemerintahan yang berlaku dalam sejarah muslim adalah tidak sejalan dengan teori yang ingin dibangun Islam (teoritis). Karena itu tulisan ini berlandaskan teori, bahwa ketika membahas sistempemerintahan Iislam harus ada perbedaan antara teori dan praktek. Sejalan dengan itu, pembahsan berikut merupakan pelacakan terhadap teori sistem pemerintahan Iislam yang ada dalam nash (al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW), bukan praktek Muslim.
Hasil pelacakan dari kedua sumber tersebut adalah, ada beberapa nash yang berbicara tentang prinsip-prinsip dan sistem pemerintahan/ kenegaraann. Diantaranya adalah:
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabbnya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. 42:38)”

Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. 3:159).”
Artinya: “(Inilah pernyataan) pemutusan penghubungan daripada Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kamu muslimin) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). (QS. 9:1).”

Dari ketiga ayat al-Qur’an tersebut dapat ditegaskan beberapa prinsip:
1. Kedaulatan adalah di tangan rakyat (umat),
2. Bentuk pemerintahan adalah berdasarkan musyawarah (shura);
3. Kepala pemerintah adalah imam atau khalifah, yaitu pelaksana shari’ah (ajaran agama);
4. Kepala pemerintahan diangkat dan diberhentikan oleh rakyat (umat).

Ayat lain yang berbicara tentang kenegeraan adalah adalah al-Nahl (16): 90:
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu daoat mengambil pelajaran. (QS. 16:90).”

Dan surah an-Nisa ayat 58:
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. 4:58).” 

Dari kedua ayat tersebut memuat adanya persamaan dan keadilan antar warga negara.
Lebih dari itu ayat al-Nisa (4): 58-70 adalah ayat-ayat tentang dasar pemerintahan.
 Masih ayat lain yang berbicara tentang prinsip-prinsip pemerintahan adalah al-Baqarah(2): 190:
Artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. 2:190).”
Juga terdapat dalam Al- Hajj (22): 30 sebagai berikut:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: Rabb kami hanyalah Allah. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. 22:40).”
Dari kedua ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa Iislam melarang agresi, tetapi juga melarang menyerah. Tujuan perang setelah mengelakkan agresi (untuk membela diri), seperti tersirat dalam al-hajj (22): 40, adalah untuk mendirikan masyarakat yang penuh perdamaian, adl, penuh toleransi dan budi pekerti.
Namun ditegaskan bahwa Iislam mementingkan perdamaian daripada peperangan, dan harus selalu siap berperang agar tidak diserang. Prinsip ini tersirat dalam al-Anfal (8): 61:
Artinya: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. 8:61).”
Dan juga dalam al-Anfal (8): 60:
Artinya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS. 8:60).”
Masih nash lain, adalah an-Nahl (16): 91:
Artinya: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. 16:91).”
Dari nash ini tersirat prinsip pemerintahan, yaitu harus selalu menepati janji dan tidak mengkhianatinya.
Sedangkan sumber sunnah Nabi Muhammad, misalnya:
1. Adanya larangan komersialisasi jabatan,
2. Rasulullah SAW selalu bermusyawarah dengan para sahabat dalam urusan-urusan politik, militer dan keuangan.
Dari sejumlah nash di atas, para ilmuwan menyimpulkan tiga prinsip umum ketatanegaraan atau pemerintahan Iislam yaitu:
1. Prinsip musyawarah (shura);
2. Prinsip keadilan (al-‘adl);
3. Prinsip egaliteranisme (musawah).
Prinsip demokrasi dalam umumnya sistem pemerintahan dapat dipadankan dengan prinsip musyawarah yang ditawarkan Iislam. Demikian Prof. Khoiruddin Nasution berkesimplan dalam bukunya, Pengantar Studi Islam. 
Akan halnya dengan praktek demokrasi dalam sejarah Muslim secara singkat dan hanya sebatas masalah pergantian kepemimpinan kepala Negara/pemerintahan (sukseksi) dapat digambarkan demikian. Entuk suksesi yang terjadi dari kekuasaan Nabi Muhammad SAW kepada Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah pertama adalah hasil musyawarah kaum muslimin, yang ketika itu terdiri dari kelompok Anshar dan Muhajirin di Saqifah Bani Sa’adah. Kemudian peralihan dari Abu Bakar al-Shiddiq kepada ‘Umar bin al-Khattab sebagai khalifah kedua adalah dengan penunjukkan oleh khaliffah sebelumnya dengan persetujuan kaum muslimin. Bentuk lain yang muncul ketika peralihan dari ‘Umar bin al-Khattab kepada ‘Usman bin ‘Affan sebagai khalifah ketiga dengan sistem formatur (). Adapun peralihan dari‘Usman bin ‘Affan kepada Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat adalah dengan jalan aklamasi. Setelah itu sejarah Muslimin diwarnai dengan sistem pemerintahan monarki. Bahkan sampai sekarang pun pada umumnya Negara Arab sistem ini yang berlaku.
Dapat dikatakan, bahwa praktek suksesi kepemimpinan yang dilakukan keempat khaliffah pertama (khulafa al-rashidin) masih sejalan dengan prinsip demokrasi (shura) yang diajarkan Islam. Sebab nash hanya membeikan prinsip, sementara bentuk dapat dipraktekkan dalam sejumlah variasi sepanjang prinsip musyawarah ada di dalamnya, demikian Prof. Khoiruddin Nasution berkesimpulan.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar