Selasa, 10 Juli 2012

BAB XI EKONOMI ISLAM



BAB XX
EKONOMI ISLAM

A.    Konsep Ekonomi Islam
Ekonomi Islam oleh Prof. DR. Muhammad Abdul Mannan, diartikan sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Sedangkan Prof. Dr. M. Umar Chapra mendefenisikan ekonomi Islam sebagai sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia melalui alokasi dan distribusi sumberdaya yang terbatas yang berada dalam koridor yang mengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa perilaku makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa ketidakseimbangan lingkungan. Tegasnya, ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Adapun dalil dan rujukan ekonomi Islam diantaranya adalah surat Al-Baqarah ayat 275, 282; Al-An’am ayat 152; Al-Isra: 35; Al-Muthaffiffin ayat 1-6; Al-Jumu’ah ayat 9 dan lain sebagainya. Sedangkan dalil dari hadis Nabi SAW satu diantaranya adalah:
مَنْ  اَمْسَى كَالاًّ مِنْ عَمَلِ  يَدِهِ  اَمْسَى مَغْفُوْرًا لَهُ

Artinya:
“Barang siapa yang di waktu sorenya merasa kelelahan karena kerja tanganya, maka di waktu sore itu ia mendapatkan ampunan.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)
Lebih dari itu, seorang Fuqaha asal Mesir, Prof. M. Abu Zahra menyatakan ada 3 sasaran hukum Islam yang diantaranya mengatur ekonomi Islam. Tiga sasaran itu adalah:
1.      Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya;
2.      Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehiudupan di bidang hukum, muamalah, tanpa terkecuali ekonomi Islam;
3.      Tercapainya mashlahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa masalah yang menjadi puncak sasaran di atas meliputi 5 jaminan dasar, yaitu:
·         Keselamatan keyakinan agama (al-din);
·         Keselamatan Jiwa (al-nafs);
·         Keselamatan Akal (al-aql);
·         Keselamatan Keluarga dan keturunan (al-nasl);
·         Keselamatan Harta benda (al-mal).
Sementara itu, prinsip-prinsip ekonomi Islam secara garis besarnya adalah sebagai berikut:
1.      Berbagai jenis sumberdaya dipandang sebagai pemberian atau titipan Allah SWT kepada manusia;
2.      Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu;
3.      Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerjasama;
4.      Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai segelintir orang saja;
5.      Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang;
6.      Seorang Muslim harus takut kepada Allah SWT dan hari penentuan di akhirat nanti;
7.      Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab);
8.      Islam melarang riba dalam segala bentuk.

Adapun prinsip perbankan Syariah adalah:
1.      Prinsip Al-Ta’awun
Prinsip ini merupakan prinsip untuk saling membantu dan bekerja sama antara anggota masyarakat dalam kebaikan. Dasar hukumnya adalah surat Al-Maidah ayat 2. 
2.      Prinsip Menghindari Al-Ikthina
Seperti membiarkan uang menganggur dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum. Dalilnya adalah surat An-Nisa ayat 29.
Lebih jauh, setidaknya ada 3 hal yang dilarang keras dalam perbankan syariah, yakni:
1.      Gharar
Adanya unsur ketidakpastian atau tipu muslihat dalam transaksi.
2.      Maysir
Yakni unsur judi yang transaksinya bersifat spekulatif yang dapat menimbulkan kerugian satu pihak dan keuntungan bagi pihak lain.
3.      Riba
Transaksi menggunakan sistem bunga sangat tidak dibenarkan dalam Islam.


B.     Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat
Maksud dari sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang terjadi setelah prinsip ekonomi yang menjadi pedoman kerjanya, yang dipengaruhi atau dibatasi oleh ajaran-ajaran Islam. Sistem ekonomi Islam tersebut di atas, bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadis yang dikembangkan oleh pemikiran manusia yang memenuhi syarat dan ahli dalam bidangnya. Jika Al-Qur’an dan Al Hadis dipelajari dengan seksama, tampak jelas bahwa Islam mengakui motif laba (profit) dalam kegiatan ekonomi. Namun motif itu terikat atau dibatasi oleh syarat-syarat moral, sosial dan temperance (pembatasan diri).
1.      Manajemen Zakat dan Infak
Zakat merupakan dasar prinsipil untuk menegakkan struktur sosial Islam. Zakat bukanlah derma atau sedekah biasa, ia adalah sedekah wajib. Dengan terlaksananya lembaga zakat dengan baik dan benar diharapkan kesulitan dan penderitaan fakir miskin dapat berkurang. Di samping itu dengan pengelolaan zakat yang profesional, berbagai permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang ada hubungannya dengan mustahiq juga dapat dipecahkan.
Zakat ada dua macam yaitu zakat Mal dan zakat Fitrah. Zakal Mal adalah bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang wajib diberikan kepada orang-orang tertentu setelah mencapai jumlah minimal tertentu dan setelah dimiliki selama jangka waktu tertentu pula. Sedangkan zakat Fitrah adalah zakat yang diwajibkan pada akhir puasa Ramadhan. Hukumnya wajib atas setiap orang muslim, kecil atau dewasa, laki-laki atau perempuan, budak atau merdeka
Zakat adalah salah satu bentuk distribusi kekayaan di kalangan umat Islam sendiri, dari golongan umat yang kaya kepada golongan umat yang miskin, agar tidak terjadi jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin serta untuk menghindari penumpukan kekayaan pada golongan kaya saja. Untuk melaksanakan lembaga zakat itu dengan baik dan sesuai dengan fungsi dan tujuannya tentu harus ada aturan-aturan yang harus dilakukan dalam pengelolaannya. Pengelolaan zakat yang berdasarkan pada prinsip-prinsip pengaturan yang baik, jelas akan lebih meningkatkan manfaatnya yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan pengelolaan zakat yang kurang optimal, pada tanggal 23 September 1999 Presiden RI, BJ Habibie mengesahkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat tersebut, menteri Agama RI menetapkan Keputusan Meneteri Agama Republik Indonesia Nomor 581 Tahun 1999.
Berhasilnya pengelolaan zakat tidak hanya tergantung pada banyaknya zakat yang terkumpul, tetapi sangat tergantung pada dampak dari pengelolaan zakat tesebut dalam masyarakat. Zakat baru dapat dikatakan berhasil dalam pengelolaanya apabila zakat tesebut benar-benar dapat mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat. Keadaan yang demikian sangat bergantung dari manajemen yang diterapkan oleh amil zakat dan political will dari pemerintah.
2.      Manajemen Wakaf
Sebagai salah satu lembaga sosial Islam, wakaf erat kaitannya dengan sosial ekonomi masyarakat. Walaupun wakaf merupakan lembaga Islam yang hukumnya sunnah, namun lembaga ini dapat berkembang dengan baik di beberapa negara misalnya Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Bangladesh dan lain-lain. Hal ini barangkali karena lembaga wakaf ini dikelola dengan manajemen yang baik sehingga manfaatnya sangat dirasakan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Di Indonesia sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan termasuk fakir miskin. Pemanfaatan tersebut dilihat dari segi sosial khususnya untuk kepentingan keagamaan memang efektif, tetapi dampaknya kurang berpengaruh positif dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Apabila peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal di atas tanpa diimbangi dengan wakaf yang dapat dikelola secara produktif, maka wakaf sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, tidak akan dapat terealisasi secara optimal.
Agar wakaf di Indonesia dapat memberdayakan ekonomi umat, maka di Indonesia perlu dilakukan paradigma baru dalam pengelolaan wakaf. Wakaf yang selama ini hanya dikelola secara konsumtif dan tradisional, sudah saatnya kini wakaf dikelola secara produktif.
Di beberapa negara seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, Bangladesh, wakaf selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan juga berupa tanah pertanian, perkebunan, uang, saham, real estate dan lain-lain yang semuanya dikelola secara produktif. Dengan demikian hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat.
Wakaf uang dan wakaf produktif penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia di saat kondisi perekonomian yang kian memburuk. Contoh sukses pelaksanaan sertifikat wakaf tunai di Bangladesh dapat dijadikan teladan bagi umat Islam di Indonesia. Kalau umat Islam mampu melaksanakannya dalam skala besar, maka akan terlihat implikasi positif dari kegiatan wakaf tunai tersebut. Wakaf tunai mempunyai peluang yang unik bagi terciptanya investasi di bidang keagamaan, pendidikan dan pelayanan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar