BAB XX
EKONOMI ISLAM
A. Konsep Ekonomi Islam
Ekonomi Islam oleh Prof. DR. Muhammad Abdul Mannan, diartikan sebagai ilmu
pengetahuan sosial yang mempelajari
masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Sedangkan
Prof. Dr. M. Umar Chapra mendefenisikan ekonomi Islam sebagai sebuah
pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia melalui alokasi
dan distribusi sumberdaya yang terbatas yang berada dalam koridor yang mengacu
pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa perilaku
makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa ketidakseimbangan lingkungan. Tegasnya,
ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang
perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid
sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Adapun dalil
dan rujukan ekonomi Islam diantaranya adalah surat Al-Baqarah ayat 275,
282; Al-An’am ayat 152; Al-Isra: 35; Al-Muthaffiffin ayat 1-6; Al-Jumu’ah ayat
9 dan lain sebagainya. Sedangkan dalil dari hadis Nabi SAW satu diantaranya
adalah:
مَنْ اَمْسَى كَالاًّ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
اَمْسَى مَغْفُوْرًا لَهُ
Artinya:
“Barang siapa yang di waktu
sorenya merasa kelelahan karena kerja tanganya, maka di waktu sore itu ia
mendapatkan ampunan.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)
Lebih dari
itu, seorang Fuqaha asal Mesir, Prof. M. Abu Zahra menyatakan ada 3
sasaran hukum Islam yang diantaranya mengatur ekonomi Islam. Tiga sasaran itu
adalah:
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa
menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya;
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat.
Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehiudupan di bidang hukum, muamalah,
tanpa terkecuali ekonomi Islam;
3. Tercapainya mashlahah (merupakan
puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa masalah yang menjadi puncak sasaran di
atas meliputi 5 jaminan dasar, yaitu:
·
Keselamatan
keyakinan agama (al-din);
·
Keselamatan
Jiwa (al-nafs);
·
Keselamatan
Akal (al-aql);
·
Keselamatan
Keluarga dan keturunan (al-nasl);
·
Keselamatan
Harta benda (al-mal).
Sementara
itu, prinsip-prinsip ekonomi Islam secara garis besarnya adalah sebagai
berikut:
1. Berbagai jenis sumberdaya dipandang
sebagai pemberian atau titipan Allah SWT kepada manusia;
2. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam
batas-batas tertentu;
3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam
adalah kerjasama;
4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi
kekayaan yang dikuasai segelintir orang saja;
5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan
masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang;
6. Seorang Muslim harus takut kepada Allah SWT
dan hari penentuan di akhirat nanti;
7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang
telah memenuhi batas (nisab);
8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.
Adapun
prinsip perbankan Syariah adalah:
1. Prinsip Al-Ta’awun
Prinsip ini merupakan prinsip untuk saling
membantu dan bekerja sama antara anggota masyarakat dalam kebaikan. Dasar
hukumnya adalah surat Al-Maidah ayat 2.
2. Prinsip Menghindari Al-Ikthina
Seperti membiarkan uang menganggur dan
tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum. Dalilnya
adalah surat An-Nisa ayat 29.
Lebih jauh,
setidaknya ada 3 hal yang dilarang keras dalam perbankan syariah, yakni:
1. Gharar
Adanya unsur ketidakpastian atau tipu
muslihat dalam transaksi.
2. Maysir
Yakni unsur
judi yang transaksinya bersifat spekulatif yang dapat menimbulkan kerugian satu
pihak dan keuntungan bagi pihak lain.
3. Riba
Transaksi
menggunakan sistem bunga sangat tidak dibenarkan dalam Islam.
B. Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan
Umat
Maksud dari sistem
ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang terjadi setelah prinsip ekonomi yang
menjadi pedoman kerjanya, yang dipengaruhi atau dibatasi oleh ajaran-ajaran Islam.
Sistem ekonomi Islam tersebut di atas, bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadis
yang dikembangkan oleh pemikiran manusia yang memenuhi syarat dan ahli dalam
bidangnya. Jika Al-Qur’an dan Al Hadis dipelajari dengan seksama, tampak jelas
bahwa Islam mengakui motif laba (profit) dalam kegiatan ekonomi. Namun motif
itu terikat atau dibatasi oleh syarat-syarat moral, sosial dan temperance
(pembatasan diri).
1. Manajemen
Zakat dan Infak
Zakat
merupakan dasar prinsipil untuk menegakkan struktur sosial Islam. Zakat bukanlah
derma atau sedekah biasa, ia adalah sedekah wajib. Dengan terlaksananya lembaga
zakat dengan baik dan benar diharapkan kesulitan dan penderitaan fakir miskin
dapat berkurang. Di samping itu dengan pengelolaan zakat yang profesional,
berbagai permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang ada hubungannya dengan
mustahiq juga dapat dipecahkan.
Zakat ada dua
macam yaitu zakat Mal dan zakat Fitrah. Zakal Mal adalah
bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang wajib diberikan
kepada orang-orang tertentu setelah mencapai jumlah minimal tertentu dan
setelah dimiliki selama jangka waktu tertentu pula. Sedangkan zakat Fitrah
adalah zakat yang diwajibkan pada akhir puasa Ramadhan. Hukumnya wajib atas
setiap orang muslim, kecil atau dewasa, laki-laki atau perempuan, budak atau
merdeka
Zakat adalah
salah satu bentuk distribusi kekayaan di kalangan umat Islam sendiri, dari
golongan umat yang kaya kepada golongan umat yang miskin, agar tidak terjadi
jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin serta untuk menghindari
penumpukan kekayaan pada golongan kaya saja. Untuk melaksanakan lembaga zakat
itu dengan baik dan sesuai dengan fungsi dan tujuannya tentu harus ada
aturan-aturan yang harus dilakukan dalam pengelolaannya. Pengelolaan zakat yang
berdasarkan pada prinsip-prinsip pengaturan yang baik, jelas akan lebih
meningkatkan manfaatnya yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Sehubungan
dengan pengelolaan zakat yang kurang optimal, pada tanggal 23 September 1999
Presiden RI, BJ Habibie mengesahkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat. Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat tersebut, menteri Agama RI menetapkan Keputusan Meneteri Agama
Republik Indonesia Nomor 581 Tahun 1999.
Berhasilnya pengelolaan
zakat tidak hanya tergantung pada banyaknya zakat yang terkumpul, tetapi sangat
tergantung pada dampak dari pengelolaan zakat tesebut dalam masyarakat. Zakat
baru dapat dikatakan berhasil dalam pengelolaanya apabila zakat tesebut
benar-benar dapat mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam
masyarakat. Keadaan yang demikian sangat bergantung dari manajemen yang
diterapkan oleh amil zakat dan political will dari pemerintah.
2. Manajemen
Wakaf
Sebagai salah
satu lembaga sosial Islam, wakaf erat kaitannya dengan sosial ekonomi
masyarakat. Walaupun wakaf merupakan lembaga Islam yang hukumnya sunnah,
namun lembaga ini dapat berkembang dengan baik di beberapa negara misalnya
Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Bangladesh dan lain-lain. Hal ini barangkali
karena lembaga wakaf ini dikelola dengan manajemen yang baik sehingga
manfaatnya sangat dirasakan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Di Indonesia
sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam bentuk suatu
usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan
termasuk fakir miskin. Pemanfaatan tersebut dilihat dari segi sosial khususnya
untuk kepentingan keagamaan memang efektif, tetapi dampaknya kurang berpengaruh
positif dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Apabila peruntukan wakaf hanya
terbatas pada hal-hal di atas tanpa diimbangi dengan wakaf yang dapat dikelola
secara produktif, maka wakaf sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, tidak akan dapat terealisasi secara
optimal.
Agar wakaf di
Indonesia dapat memberdayakan ekonomi umat, maka di Indonesia perlu dilakukan
paradigma baru dalam pengelolaan wakaf. Wakaf yang selama ini hanya dikelola
secara konsumtif dan tradisional, sudah saatnya kini wakaf dikelola secara
produktif.
Di beberapa
negara seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, Bangladesh, wakaf selain
berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan juga berupa tanah pertanian,
perkebunan, uang, saham, real estate dan lain-lain yang semuanya
dikelola secara produktif. Dengan demikian hasilnya benar-benar dapat dipergunakan
untuk mewujudkan kesejahteraan umat.
Wakaf uang
dan wakaf produktif penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia di saat
kondisi perekonomian yang kian memburuk. Contoh sukses pelaksanaan sertifikat
wakaf tunai di Bangladesh dapat dijadikan teladan bagi umat Islam di Indonesia.
Kalau umat Islam mampu melaksanakannya dalam skala besar, maka akan terlihat
implikasi positif dari kegiatan wakaf tunai tersebut. Wakaf tunai mempunyai
peluang yang unik bagi terciptanya investasi di bidang keagamaan, pendidikan
dan pelayanan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar