BAB VIII
KEBUDAYAAN ISLAM
A. Konsep Kebudayaan dalam Islam
Kebudayaan
Menurut Edward B. Tylor, merupakan keseluruhan
yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat
seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo
Soemardjan dan Soelaiman Soemardi,
kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari berbagai
definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yang mana
akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan
itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa,
peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat
Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat
digolongkan atas dua komponen utama:
1)
Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan
masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah
temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah
liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup
barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian,
gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
2)
Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak
yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita
rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
Lebih jauh, secara umum arti kebudayaan yang sebenarnya
ialah suatu hasil daya pemikiran dan pemerahan tenaga lahir manusia, ia adalah
gabungan antara tenaga fikiran dengan tenaga lahir manusia ataupun hasil
daripada gabungan tenaga batin dan tenaga lahir manusia. Apa yang dimaksudkan
gabungan antara tenaga batin (daya pemikiran) dengan tenaga lahir ialah apa
yang difikirkan oleh manusia itu terus dibiat dan dilaksanakan. Apa yang
difikirkannya itu dilahirkan dalam bentuk sikap. Maka hasil daripada gabungan
inilah yang dikatakan kebudayaan.
Jadi kalau begitu, seluruh kemajuan baik yang lahir
ataupun yang batin walau dibidang apapun, dianggap kebudayaan. Sebab hasil
daripada daya pemikiran dan daya usaha tenaga lahir manusia akan tercetuslah
soal-soal politik, pendidikan, ekonomi, sastera dan seni, pembangunan dan
kemajuan-kemajuan lainnya.
Dan kalau begitu pengertian kebudayaan maka agama-agama
di luar Islam juga bisa dianggap kebudayaan. Ini adalah karena agama-agama
seperti Budha, Hindu, kristen (yang telah banyak diubah-ubah) itu lahir hasil
dari pemikiran (ide-ide) manusia. Ia adalah ciptaan akal manusia.
Sebaliknya agama Islam tidak bisa dianggap kebudayaan
sebab ia bukan hasil daripada pemikiran dan ciptaan manusia, bukan hasil budi
dan daya (tenaga lahir) manusia. Agama Islam adalah sesuatu yang diwahyukan
oleh Allah SWT.
Agama Islam adalah wahyu dari Allah SWT yang disampaikan
kepada Rasulullah SAW yang mengandung peraturan-peraturan untuk jadi panduan
hidup manusia agar selamat di dunia dan akhirat. tetapi agama-agama di luar
Islam memang kebudayaan, sebab agama-agama tersebut adalah hasil ciptaan
manusia daripada daya pemikiran mereka, daripada khayalan dan angan-angan.
Namun begitu walaupun agama Islam itu bukan kebudayaan
tetapi ia sangat mendorong (bahkan turut mengatur) penganutnya berkebudayaan.
Islam bukan kebudayaan, tapi mendorong manusia berkebudayaan. Islam mendorong
berkebudayaan dalam berfikir, berekonomi, berpolitik, bergaul, bermasyarakat,
berpendidikan, menyusun rumah tangga dan lain-lain. Jadi, sekali lagi
dikatakan, agama Islam itu bukan kebudayaan, tapi mendorong manusia
berkebudayaan. Oleh karena itu seluruh kemajuan lahir dan batin itu adalah
kebudayaan maka dengan kata-kata lain, Islam mendorong umatnya berkemajuan.
Agama Islam mendorong umatnya berkebudayaan dalam semua
aspek kehidupan termasuk dalam bidang ibadah. Contohnya dalam ibadah yang paling
pokok yaitu sembahyang. Dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah (2): 43 ada perintah:

Artinya: “Dirikanlah sembahyang, dan tunaikanlah
zakat, dan rukuklah bersama orang yang rukuk.”
Perintah itu bukan kebudayaan karena ia adalah wahyu
dari Allah SWT. Tetapi apabila kita hendak melaksanakan perintah
"dirikanlah sembahyang" maka timbullah daya pemikiran kita, bagaimana
hendak bersembahyang, dimana tempat untuk melaksanakannya dan lain-lain. Secara
ringkas, kitapun bersembahyanglah setelah mengkaji Sunnah Rasulullah yang
menguraikan kehendak wahyu itu tadi. Firman Allah dalam surat An Najm (53) ayat
3:

Artinya: “Tiadalah Rasul itu berkata-kata melainkan
wahyu yang diwahyukan padanya.”
Umpamanya kalau sembahyang berjemaah, kita berbaris,
dalam saf-saf yang lurus dan rapat. Jadi dalam kita melaksanakan barisan saf
yang lurus dan rapat itu adalah budaya, karena ia hasil usaha tenaga lahir kita
yang terdorong dari perintah wahyu.
Dan kalau dilihat dalam ajaran Islam, kita dikehendaki
bersembahyang di tempat yang bersih. Jadi perlu tempat atau bangunan yang
bersih bukan saja bersih dari najis tetapi bersih daripada segala pemandangan
yang bisa menganggu kekhusyukan kita pada saat kita bersembahyang. Maka
terpaksalah kita umat Islam menggunakan pikiran, memikirkan perlunya
tempat-tempat sembahyang yaitu mushalla, surau ataupun masjid. Apabila kita
membangun surau atau masjid hasil dari dorongan wahyu "Dirikanlah
sembahyang" itu maka lahirlah kemajuan, lahirlah kebudayaan.
Jadi agama Islam mendorong manusia berkebudayaan dalam
beribadah padahal ia didorong oleh perintah wahyu "Dirikanlah
sembahyang" yang bukan kebudayaan. Tapi karena hendak mengamalkan tuntutan
perintah wahyu ini, maka muncullah bangunan-bangunan masjid dan surau-surau
yang beraneka bentuk dan di dalamnya umat Islam sembahyang berbaris dalam
saf-saf yang lurus dan rapat. Ini semua merupakan kebudayaan hasil tuntutan
wahyu.
Begitu juga dengan kebudayaan bergaul dalam masyarakat, Al-Qur'an
surat Al-Maidah (5) ayat ke-2 Allah SWT memerintahkan:

Artinya: “…………………….Hendaklah kamu bertolong bantu
dalam berbuat kebajikan dan ketaqwaan. Dan jangan kamu bertolong bantu dalam
membuat dosa dan permusuhan.”
Perintah ini bukan kebudayaan. Tapi apabila kita hendak
mengamalkan tuntutan dan kehendak perintah maka terbentuklah kebudayaan. Dalam
bermasyarakat dan bergaul serta bergotong royong untuk membuat kebajikan dan
kebaikan serta bergotong-royong juga memberantas perkara dosa dan persengketaan
tentulah perlu menggunakan pikiran. Setelah dipikirkan untuk bergotong royong
di tengah-tengah masyarakat, tentulah kita hendak melahirkan dalam bentuk
tindakan dan sikap juga. maka terbentuklah kebudayaan dalam masyarakat.
Demikian juga dalam Al-Qur'an surat Al-Isra' (17): 32) ada
larangan:

Artinya: “Jangan kamu dekati zina………..”
Larangan itu datang dari Allah SWT. Ia adalah wahyu
bukannya kebudayaan karena ia bukan ciptaan akal manusia. Tapi apabila kita
hendak mengamalkan tuntutan perintah ini maka terpaksa kita menggunakan akal
pikiran dan melaksanakannya dalam perbuatan dan sikap. Lalu apa saja unsur
dalam pergaulan yang bisa membawa kepada zina akan kita pikirkan, dan fisik
kita segera mengelakkannya, seperti bergaul bebas antara lelaki dan perempuan,
pandang-memandang dan pembukaan aurat, semuanya akan kita hindari. Dengan itu
nanti akan lahirlah budaya setelah dipikirkan dan dilaksanakan dalam bentuk
sikap dan perbuatan hasil daripada dorongan wahyu "janganlah kamu dekati
zina."
Seterusnya ada hadis yang berbunyi:
§
“Hendaklah kamu berniaga karena sembilan persen
daripada rezeki itu adalah di dalam perniagaan.”
Ini adalah perintah (dorongan) daripada Rasulullah SAW
yang hakikatnya daripada Allah juga, supaya umat Islam berniaga. Atas dasar ini
lahirlah fikiran dan perahan tenaga akal dan fisik lainnya ke arah itu. Dengan
itu lahirlah kebudayaan Islam dalam bidang perniagaan. Lebih kuat penghayatan
terhadap hadis ini, lebih banyaklah kebudayaan di bidang perniagaan yang dapat
dicetuskan. Ini berarti umat Islam akan semakin maju. Dalam perniagaan Allah
melarang riba, tipu daya, suap dan lan-lain. Ini adalah dasar-dasar kebudayaan
Islam dalam bidang perniagaan.
Satu hadis lain berbunyi:
§
“Tidaklah percuma seorang Islam atau menanam
tanaman, lalu dimakan daripadanya oleh burung dan manusia atau binatang, bahkan
mendapat pahala sedekah (Riwayat Bukhari dan Muslim).’
Hasil daripada dorongan hadis ini akan lahirlah
kebudayaan Islam di bidang pertanian. Pikiran dan tenaga lahir umat Islam
diperah sungguh-sungguh untuk mengusahakan, memajukan dan memodernkan
teknik-teknik dan hasil pertanian. Hasilnya terbentuklah kebudayaan Islam
dibidang pertanian. jelaslah disini bahwa Islam bukanlah ajaran yang beku. Ia
menetapkan prinsip-prinsip asal dan mengatur beberapa peraturan tertentu dan
menyerahkannya sepenuhnya pada kebebasan akal dan tenaga manusia untuk membina
kemajuan di bidang pertanian.
Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:

Artinya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka
kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk
berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu
dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah
mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS. 8:
60)”
Ayat Al-Qur'an ini adalah dorongan secara langsung
daripada Allah supaya umat Islam membangun kekuatan militer untuk tujuan
mempertahankan agama, kedaulatan negara dan bangsa. Jika umat Islam benar-benar
memahami tuntutan ayat ini, mereka akan muncul sebagai satu kuasa yang gagah
dan tidak bisa diperkotak-katikkan oleh musuh, karena di samping mempunyai
kekuatan taqwa mereka juga mempunyai kekuatan senjata.
Kita akan jadi umat yang dapat melengkapkan diri dengan
senjata modern yang sophisticated dan modern. Dengannya umat Islam akan
dapat mempertahankan diri dan dapat menentang setiap gangguan dan penzaliman
dari pihak komunis dan kapitalis seperti yang terjadi hari ini. Tidak timbul
soal negara-negara yang terpaksa "minta sedekah" dan dapat
dipermainkan oleh negara-negara penjual senjata seperti apa yang terjadi di
Timur Tengah pada saat ini. Inilah keindahan Islam bukan saja dapat mendorong
manusia berkebudayaan dalam bidang kemasyarakatan atau perniagaan, malah Islam
telah mendorong penganutnya mempunyai kebudayaan dalam bidang ketentaraan.
Kesimpulannya, jelaslah Islam bukan kebudayaan sebab ia
bukan hasil ciptaan manusia. Walau bagaimanapun agama Islam itu mendorong orang
berkebudayaan. Adapun agama-agama di luar Islam memang kebudayaan sebab ia
hasil kerja akal, khayalan dan angan-angan manusia itu sendiri.
Justru itu, jika ajaran agama Islam ini diamalkan
seungguh-sungguh, umat Islam akan jadi maju. Dan dengan kemajuan yang
dihasilkan itu, lahirlah kebudayaan atau tamadun. Makin banyak umat
Islam mengamalkan hukum, semakin banyaklah kemajuan dihasilkan dan seterusnya
makin banyak lahirlah kebudayaan atau tamadun Islam.
B. Sejarah Kebudayaan dan Intelektual Umat
Islam
Dalam catatan
sejarah, pernah dituliskan
dengan tinta emas adanya puncak kemajuan kebudayaan Islam, terutama pada
pemerintahan “khalifah al-Ma’mun” dari dinasti Abbasiyah, yang ditandai dengan
sistem pemerintahan yang adil, menjamin kebebasan berpikir sehingga pada zaman
itu, berdiri pusat-pusat kajian dan penterjemahan buku-buku filsafat Yunani dan
berkumpul berbagai ilmuwan dari berbagai kalangan keagamaan, dengan “sistem
ekonomi perdagangan yang terbuka”, di mana saat itu, kota Baghdad menjadi kota
perdagangan. Akan tetapi setelah pemerintahan al-Ma’mun, tanda-tanda kejatuhan
dan kemunduran kebudayaan Islam mulai merebak, yang ditandai oleh “ketidakmampuannya
dalam menyelenggarakan pemerintahan yang adil, sikap hidup para pemimpin dan
orang-orang kaya di sekitarnya yang suka berfoya-foya, serta terjadinya
frustrasi akademik di kalangan kaum terpelajar.[1]
Puncak
kebudayaan Islam itu tidak dicapai dengan seketika, demikian pula halnya
kejatuhannya, proses itu berjalan dalam rentang waktu lama, ratus tahun, sejak
abad ke tujuh sampai abad ke dua belas masehi. Dalam periode itu, “umat Islam
terpukau oleh pemikiran Yunani”, mereka melakukan penterjemahan buku-buku
Yunani secara besar-besaran, akan “tetapi mereka mengabaikan fundamental
bangunan intelektual” dari akar tradisinya sendiri, yang diwariskan oleh
tradisi kenabian. Sir Muhammad Iqbal, melukiskan keadaan itu dengan
pernyataannya bahwa mereka membaca Al-Qur’an dengan cahaya pemikiran Yunani,
padahal jiwa intelektual yang dibangun oleh al-Qur’an itu bersifat aktual,
dalam amal ke salehan sebagai jalan spritual, berbeda dengan jiwa intelektual
Yunani yang bercorak spekulatif, dan rasional semata-mata.[2]
Di lihat dari
konteks metode berpikir kefilsafatan, barangkali pernyataan adanya “kemajuan
kebudayaan” yang disebut dengan kebudayaan Islam itu, sesungguhnya masih
bersifat semu saja,” karena sesungguhnya yang ada bukan “kebangkitan kebudayaan
Islam”, tetapi kebangkitan kebudayaan Yunani dalam pemerintahan dan masyarakat Islam.
Persoalan ini, telah muncul perdebatan akademik dalam pemikiran filsafat dengan
sangat serius, apakah filsafat Islam itu pernah ada, karena yang ada adalah
bukan filsafat Islam tetapi filsafat Yunani yang diberi baju Islam.[3]
Dalam konsep
filsafat Islam, kebudayaan Islam baik pada dataran konsep maupun produk, pada
dasarnya harus ditegakkan dan dibangun oleh berfungsinya akal kudus secara
seimbang, baik dalam dimensi pikir maupun zikir, berdasarkan wawasan hikmah dan
kitab, sehingga kebudayaan Islam tidak dibangun dan ditegakkan berdasarkan
rasio semata-mata, yang akan mengakibatkan kebudayaan kehilangan dimensi spritualitasnya,
dan mempunyai kecenderungan terlepas dari wawasan moralitas kemanusiaan
universal dan spritual agama.
Oleh karena
itu, ketahanan suatu kebudayaan sepenuhnya ditentukan oleh keseimbangan
“dealektik antara kreaktifitas” dan wawasan moralitas, yang secara seimbang
menjadi manifestasi aktual dan dinamis dari keseimbangan “iman” dan “ilmu”
dalam tindakan amal kesalehan. Pada dataran ini, kebudayaan menjadi sasaran
komunikasi dan dialog kreatif dengan Tuhannya, dalam suatu pertemuan penciptaan
yang bermakna ibadah. Di sinilah kebudayaan Islam sebagai penyerahan,
ketunduhan dan kepatuhan diri kepada Tuhan dijabarkan secara kreatif dalam
penciptaan kebudayaan, yang basisnya adalah “dealektika hukum-hukum Tuhan” yang
ada dalam ciptaan-Nya. Dengan demikian, kebudayaan yang demikian akan menghantarkan
manusia kepada “salam”, mencapai keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan, di
dunia dan akhirat.[4]
Lebih jauh,
terkait sejarah intelektual Islam, berdasarkan teori yang dikemukakan oleh
Harun Nasution, maka perkembangannya dikelompokkan kedalam tiga masa yaitu:
1) Masa Klasik, yaitu antara 650-1250 M,
Di era klasik ini,
lahir beberapa tokoh penting di beberapa bidang, antaranya bidang ilmu filsafat,
tokohnya antara lain Al-Kindi (194-260 H/809-873 M), Al-Farabi (w 390 H/961 M),
Ibnu Bajah (w 523 H), Ibnu Thufail (w 581 H), dan Ibnu Sina (370-428 H/980-1037
M). Ibnu Sina, selain dikenal ahli filsafat, ia juga dikenal sebagai bapak
kedokteran Islam. Ia banyak menulis karya, seperti Qanun fi Thib, Asy-Syifa,
dan lainnya. Selain nama di atas, tokoh lainnya adalah Al-Ghazali (450-505
H/1058-1101 M). Beberapa karyanya adalah Ihya Ulum Al-Din, Tahafut
al-Falasifah, dan al-Munqizh Minadl Dhalal. Kemudian, ada Ibnu Rusyd
(520-595 H/1126-1198 M). Karangannya adalah Mabdiul Falasifah, Kasyful
Afillah, dan Al-Hawi dalam bidang kedokteran.
Adapun di bidang ilmu
kedokteran, selain Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, tokoh lainnya adalah Jabir bin
Hayyan (w 161 H/778 M), Hunain bin Ishaq (194-264 H/810-878 M), Thabib bin
Qurra (w 901 M), dan Ar-Razi (251-313 H/809-873 M). Di bidang, ilmu matematika,
dua orang tokohnya antara lain adalah Umar Al-Farukhan (arsitek pembangunan
Kota Baghdad) dan Al-Khawarizmi (pengarang kitab Al-Jabar yang juga menemukan
angka nol (0)). Sedangkan, angka 1-9 berasal dari India yang dikembangkan oleh
Islam. Karena itu, angka 1-9 disebut pula dengan angka Arab. Namun, setelah
ditemukan orang Latin, namanya pun disebut dengan angka Latin. Terakhir di
bidang seni ukir, dalam bidang ini, umat Islam cukup terkenal dengan hasil seni
pada botol tinta, papan catur, payung, pas bunga, burung-burungan dan
pohon-pohonan. Tokohnya antara lain Al-Badr dan Al-Tariff sekitar tahun 961-976
M. Seni ukir yang dikembangkan tidak hanya pada kayu tapi juga pada logam,
emas, perak, marmer, mata uang, dan porselin.
2) Masa Pertengahan, yaitu tahun 1250- 1800 M,
Di zaman atau era
pertengahan ini, dalam catatan sejarah pemikiran dan peradaban Islam merupakan
masa kemunduran. Sebab utama karena umat Islam mulai menjauhkan filsafat,
sehingga muncul kecendrungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan
ilmu, dunia dengan akhirat. Pengaruhnya masih terasa sampai sekarang.
3) Masa Moderen, yaitu tahun 1800- sekarang.
C. Masjid Sebagai Pusat Peradaban Islam
J. Pedersen
dalam bukunya berjudul Arabic Book mengungkapkan "Di era kejayaan Islam, masjid
tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja, namun juga sebagai pusat
kegiatan intelektualitas." Memang sejak awal perkembangannya, masjid
terbukti memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan pendidikan di
dunia Islam.
Di manapun
ajaran Islam berkembang, di situlah bangunan masjid menjulang. Peran masjid
kemudian berkembang sebagai tempat menimba ilmu. Sekolah-masjid di era kejayaan
Islam mampu menampung murid dalam jumlah ratusan hingga ribuan siswa. Sebagai
pusat intelektualitas, masjid-masjid di era kekhalifahan telah dilengkapi
dengan perpustakaan. Koleksi bukunya begitu melimpah, karena banyak ilmuwan dan
ulama yang mewakafkan bukunya di perpustakaan masjid.
Sejarah
peradaban Islam mencatat, aktivitas pendidikan berupa sekolah pertama kali
hadir di masjid pada tahun 653 M di kota Madinah. Pada era kekuasaan Dinasti
Umayyah, sekolah di Masjid pun mulai muncul di Damaskus pada tahun 744 M. Sejak
tahun 900 M, hampir setiap masjid memiliki sekolah dasar yang berfungsi untuk
mendidik anak-anak Muslim yang tersebar di dunia Islam.
Pada zaman
keemasan Islam, anak-anak mulai disarankan untuk menimba ilmu sejak menginjak
usia lima tahun. Pada tahap awal, mereka diajarkan cara untuk menulis 99 nama
Allah yang indah atau asmaul husna. Selain itu, anak-anak Muslim di masa
kekhalifahan pun mulai diperkenalkan dengan tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang
sederhana.
Setelah mahir
membaca dan lincah menulis, anak-anak yang belajar di masjid dijarkan Al-Qur’an
ditambah pelajaran berhitung atau aritmatika. Para siswa juga bisa mempelajari
ilmu-ilmu lainnya. Masjid-masjid besar, biasanya juga menawarkan pendidikan
ilmu yang lebih luas lagi. Di masjid-masjid besar itu, para pelajar di zaman
kekhalifahan pun bisa mempelajari beragam ilmu seperti tata bahasa Arab,
logika, aljabar, biologi, sejarah, hukum, dan teologi.
Pada
perkembangannya, para pelajar juga tak hanya menimba ilmu di masjid saja. Untuk
mempraktikan kemampuannya dalam bidang kedokteran, para siswa juga belajar di
rumah sakit. Yang tertarik astronomi juga belajar langsung di observatorium.
Tempat belajar juga bisa dilakukan di madrasah - umumnya tempatnya berdampingan
dengan masjid. Selain itu bisa juga di rumah-rumah para guru.
Di wilayah
Spanyol Muslim, aktivitas pendidikan pada umumnya bertempat di masjid. Masjid
menjadi pusat aktivitas belajar-mengajar di mulai di daerah kekuasaan Dinasti
Umayyah itu sejak berdirnya Masjid Cordoba pada abad ke-8 M. Kegiatan
belajar-mengajar di masjid memang terbilang unik dan sangat khas.
Pendidikan
yang digelar di masjid pada zaman kejayaan Islam ternyata mampu memberi
pengaruh terhadap pendidikan di Eropa. Menurut George Makdisi, guru besar Studi
Islam di Universitas Pennsylvania, pendidikan masjid yang diselenggarakan di
era kekhalifahan telah memberi pengaruh kepada peradaban Eropa melalui sistem
pendidikan, universalitas, metode pengajaran, dan gelar kesarjanaan yang
diberikan.
Dari paparan
di atas, maka tampak jelas bahwa masjid tidak hanya berfungsi sebagai pusat
ibadah ritual, melainkan berfungsi juga sebagai pusat ibadah sosial seperti
pendidikan dan ekonomi. Dari kedua fungsi tersebut titik sentral fungsi utama masjid
adalah sebagai pusat pembinaan umat Islam. Dengan ungkapan lain, masjid sebagai
pusat peradaban Islam.
Lebih dari itu, di dalam setiap peradaban terdapat
kebudayaan. Siapa pun orang yang lahir disambut dan diatur oleh kebudayaan.
Maka, kebudayaan menjadi modal utama membangun peradaban. Caranya, budaya
tersebut dikembangkan dan diawetkan lewat pendidikan, yang dapat
melahirkan high culture (peradaban tinggi). Peradaban yang
tinggi inilah kemudian yang akan melahirkan pilar-pilar peradaban, misalnya,
ilmu pengetahuan, seni, bahasa, dan sastra. Dan masjid dalam sejarah peradaban
Islam merupakan tempat atau pusat lahirnya peradaban Islam tersebut.
D. Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Indonesia
Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Karena
Islam besar dari negara Arab, maka Islam yang masuk ke Indonesia tidak terlepas
dari budaya Arabnya. Pada awal-awal masuknya dakwah Islam ke Indonesia
dirasakan sangat sulit membedakan mana ajaran Islam dan mana budaya Arab. Masyarakat
awam menyamakan antara perilaku yng tampil oleh orang Arab dengan perilaku
ajaran Islam. Seolah-olah apa yang dilakukan oleh orang Arab itu semuanya
mencerminkan ajaran Islam, bahkan hingga kini budaya Arab masih melekat pada
tradisi masyarakat Indonesia.
Dalam perkembangan dakwah Islam di Indonesia, para da’i
mendakwahkan ajaran Islam melalui bahasa budaya, sebagaimana dilakukan oleh
para wali di tanah Jawa. Karena kehebatan para Wali Allah dalam mengemas ajaran
Islam dengan bahasa budaya setempat, sehingga masyarakat setempat tidak sadar
bahwa nilai-nilai Islam sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kebudayaan mereka. Seperti dalam upacara-upara adat dan dalam penggunaan bahasa
sehari-hari. Bahasa Al-Qur’an/Arab sudah banyak masuk ke dalam bahasa daerah bahkan
ke dalam bahasa Indonesia yang baku. Semua itu tanpa disadari bahwa apa yang
dilakukannya merupakan bagian dari ajaran Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar