Selasa, 10 Juli 2012

BAB XII KEBUDAYAAN



BAB VIII

KEBUDAYAAN ISLAM


A.    Konsep Kebudayaan dalam Islam
Kebudayaan Menurut Edward B. Tylor, merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yang mana akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat
Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:
1)      Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
2)      Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
Lebih jauh, secara umum arti kebudayaan yang sebenarnya ialah suatu hasil daya pemikiran dan pemerahan tenaga lahir manusia, ia adalah gabungan antara tenaga fikiran dengan tenaga lahir manusia ataupun hasil daripada gabungan tenaga batin dan tenaga lahir manusia. Apa yang dimaksudkan gabungan antara tenaga batin (daya pemikiran) dengan tenaga lahir ialah apa yang difikirkan oleh manusia itu terus dibiat dan dilaksanakan. Apa yang difikirkannya itu dilahirkan dalam bentuk sikap. Maka hasil daripada gabungan inilah yang dikatakan kebudayaan.
Jadi kalau begitu, seluruh kemajuan baik yang lahir ataupun yang batin walau dibidang apapun, dianggap kebudayaan. Sebab hasil daripada daya pemikiran dan daya usaha tenaga lahir manusia akan tercetuslah soal-soal politik, pendidikan, ekonomi, sastera dan seni, pembangunan dan kemajuan-kemajuan lainnya.
Dan kalau begitu pengertian kebudayaan maka agama-agama di luar Islam juga bisa dianggap kebudayaan. Ini adalah karena agama-agama seperti Budha, Hindu, kristen (yang telah banyak diubah-ubah) itu lahir hasil dari pemikiran (ide-ide) manusia. Ia adalah ciptaan akal manusia.
Sebaliknya agama Islam tidak bisa dianggap kebudayaan sebab ia bukan hasil daripada pemikiran dan ciptaan manusia, bukan hasil budi dan daya (tenaga lahir) manusia. Agama Islam adalah sesuatu yang diwahyukan oleh Allah SWT.
Agama Islam adalah wahyu dari Allah SWT yang disampaikan kepada Rasulullah SAW yang mengandung peraturan-peraturan untuk jadi panduan hidup manusia agar selamat di dunia dan akhirat. tetapi agama-agama di luar Islam memang kebudayaan, sebab agama-agama tersebut adalah hasil ciptaan manusia daripada daya pemikiran mereka, daripada khayalan dan angan-angan.
Namun begitu walaupun agama Islam itu bukan kebudayaan tetapi ia sangat mendorong (bahkan turut mengatur) penganutnya berkebudayaan. Islam bukan kebudayaan, tapi mendorong manusia berkebudayaan. Islam mendorong berkebudayaan dalam berfikir, berekonomi, berpolitik, bergaul, bermasyarakat, berpendidikan, menyusun rumah tangga dan lain-lain. Jadi, sekali lagi dikatakan, agama Islam itu bukan kebudayaan, tapi mendorong manusia berkebudayaan. Oleh karena itu seluruh kemajuan lahir dan batin itu adalah kebudayaan maka dengan kata-kata lain, Islam mendorong umatnya berkemajuan.
Agama Islam mendorong umatnya berkebudayaan dalam semua aspek kehidupan termasuk dalam bidang ibadah. Contohnya dalam ibadah yang paling pokok yaitu sembahyang. Dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah (2): 43 ada perintah:
Artinya: “Dirikanlah sembahyang, dan tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang yang rukuk.”
Perintah itu bukan kebudayaan karena ia adalah wahyu dari Allah SWT. Tetapi apabila kita hendak melaksanakan perintah "dirikanlah sembahyang" maka timbullah daya pemikiran kita, bagaimana hendak bersembahyang, dimana tempat untuk melaksanakannya dan lain-lain. Secara ringkas, kitapun bersembahyanglah setelah mengkaji Sunnah Rasulullah yang menguraikan kehendak wahyu itu tadi. Firman Allah dalam surat An Najm (53) ayat 3:
Artinya: “Tiadalah Rasul itu berkata-kata melainkan wahyu yang diwahyukan padanya.”
Umpamanya kalau sembahyang berjemaah, kita berbaris, dalam saf-saf yang lurus dan rapat. Jadi dalam kita melaksanakan barisan saf yang lurus dan rapat itu adalah budaya, karena ia hasil usaha tenaga lahir kita yang terdorong dari perintah wahyu.
Dan kalau dilihat dalam ajaran Islam, kita dikehendaki bersembahyang di tempat yang bersih. Jadi perlu tempat atau bangunan yang bersih bukan saja bersih dari najis tetapi bersih daripada segala pemandangan yang bisa menganggu kekhusyukan kita pada saat kita bersembahyang. Maka terpaksalah kita umat Islam menggunakan pikiran, memikirkan perlunya tempat-tempat sembahyang yaitu mushalla, surau ataupun masjid. Apabila kita membangun surau atau masjid hasil dari dorongan wahyu "Dirikanlah sembahyang" itu maka lahirlah kemajuan, lahirlah kebudayaan.
Jadi agama Islam mendorong manusia berkebudayaan dalam beribadah padahal ia didorong oleh perintah wahyu "Dirikanlah sembahyang" yang bukan kebudayaan. Tapi karena hendak mengamalkan tuntutan perintah wahyu ini, maka muncullah bangunan-bangunan masjid dan surau-surau yang beraneka bentuk dan di dalamnya umat Islam sembahyang berbaris dalam saf-saf yang lurus dan rapat. Ini semua merupakan kebudayaan hasil tuntutan wahyu.
Begitu juga dengan kebudayaan bergaul dalam masyarakat, Al-Qur'an surat Al-Maidah (5) ayat ke-2 Allah SWT memerintahkan:
Artinya: “…………………….Hendaklah kamu bertolong bantu dalam berbuat kebajikan dan ketaqwaan. Dan jangan kamu bertolong bantu dalam membuat dosa dan permusuhan.”
Perintah ini bukan kebudayaan. Tapi apabila kita hendak mengamalkan tuntutan dan kehendak perintah maka terbentuklah kebudayaan. Dalam bermasyarakat dan bergaul serta bergotong royong untuk membuat kebajikan dan kebaikan serta bergotong-royong juga memberantas perkara dosa dan persengketaan tentulah perlu menggunakan pikiran. Setelah dipikirkan untuk bergotong royong di tengah-tengah masyarakat, tentulah kita hendak melahirkan dalam bentuk tindakan dan sikap juga. maka terbentuklah kebudayaan dalam masyarakat.
Demikian juga dalam Al-Qur'an surat Al-Isra' (17): 32) ada larangan:
Artinya: “Jangan kamu dekati zina………..”
Larangan itu datang dari Allah SWT. Ia adalah wahyu bukannya kebudayaan karena ia bukan ciptaan akal manusia. Tapi apabila kita hendak mengamalkan tuntutan perintah ini maka terpaksa kita menggunakan akal pikiran dan melaksanakannya dalam perbuatan dan sikap. Lalu apa saja unsur dalam pergaulan yang bisa membawa kepada zina akan kita pikirkan, dan fisik kita segera mengelakkannya, seperti bergaul bebas antara lelaki dan perempuan, pandang-memandang dan pembukaan aurat, semuanya akan kita hindari. Dengan itu nanti akan lahirlah budaya setelah dipikirkan dan dilaksanakan dalam bentuk sikap dan perbuatan hasil daripada dorongan wahyu "janganlah kamu dekati zina."
Seterusnya ada hadis yang berbunyi:
§  “Hendaklah kamu berniaga karena sembilan persen daripada rezeki itu adalah di dalam perniagaan.”
Ini adalah perintah (dorongan) daripada Rasulullah SAW yang hakikatnya daripada Allah juga, supaya umat Islam berniaga. Atas dasar ini lahirlah fikiran dan perahan tenaga akal dan fisik lainnya ke arah itu. Dengan itu lahirlah kebudayaan Islam dalam bidang perniagaan. Lebih kuat penghayatan terhadap hadis ini, lebih banyaklah kebudayaan di bidang perniagaan yang dapat dicetuskan. Ini berarti umat Islam akan semakin maju. Dalam perniagaan Allah melarang riba, tipu daya, suap dan lan-lain. Ini adalah dasar-dasar kebudayaan Islam dalam bidang perniagaan.
Satu hadis lain berbunyi:
§  “Tidaklah percuma seorang Islam atau menanam tanaman, lalu dimakan daripadanya oleh burung dan manusia atau binatang, bahkan mendapat pahala sedekah (Riwayat Bukhari dan Muslim).’
Hasil daripada dorongan hadis ini akan lahirlah kebudayaan Islam di bidang pertanian. Pikiran dan tenaga lahir umat Islam diperah sungguh-sungguh untuk mengusahakan, memajukan dan memodernkan teknik-teknik dan hasil pertanian. Hasilnya terbentuklah kebudayaan Islam dibidang pertanian. jelaslah disini bahwa Islam bukanlah ajaran yang beku. Ia menetapkan prinsip-prinsip asal dan mengatur beberapa peraturan tertentu dan menyerahkannya sepenuhnya pada kebebasan akal dan tenaga manusia untuk membina kemajuan di bidang pertanian.
Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
Artinya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS. 8: 60)”
Ayat Al-Qur'an ini adalah dorongan secara langsung daripada Allah supaya umat Islam membangun kekuatan militer untuk tujuan mempertahankan agama, kedaulatan negara dan bangsa. Jika umat Islam benar-benar memahami tuntutan ayat ini, mereka akan muncul sebagai satu kuasa yang gagah dan tidak bisa diperkotak-katikkan oleh musuh, karena di samping mempunyai kekuatan taqwa mereka juga mempunyai kekuatan senjata.
Kita akan jadi umat yang dapat melengkapkan diri dengan senjata modern yang sophisticated dan modern. Dengannya umat Islam akan dapat mempertahankan diri dan dapat menentang setiap gangguan dan penzaliman dari pihak komunis dan kapitalis seperti yang terjadi hari ini. Tidak timbul soal negara-negara yang terpaksa "minta sedekah" dan dapat dipermainkan oleh negara-negara penjual senjata seperti apa yang terjadi di Timur Tengah pada saat ini. Inilah keindahan Islam bukan saja dapat mendorong manusia berkebudayaan dalam bidang kemasyarakatan atau perniagaan, malah Islam telah mendorong penganutnya mempunyai kebudayaan dalam bidang ketentaraan.
Kesimpulannya, jelaslah Islam bukan kebudayaan sebab ia bukan hasil ciptaan manusia. Walau bagaimanapun agama Islam itu mendorong orang berkebudayaan. Adapun agama-agama di luar Islam memang kebudayaan sebab ia hasil kerja akal, khayalan dan angan-angan manusia itu sendiri.
Justru itu, jika ajaran agama Islam ini diamalkan seungguh-sungguh, umat Islam akan jadi maju. Dan dengan kemajuan yang dihasilkan itu, lahirlah kebudayaan atau tamadun. Makin banyak umat Islam mengamalkan hukum, semakin banyaklah kemajuan dihasilkan dan seterusnya makin banyak lahirlah kebudayaan atau tamadun Islam.

B.     Sejarah Kebudayaan dan Intelektual Umat Islam
Dalam catatan sejarah, pernah dituliskan dengan tinta emas adanya puncak kemajuan kebudayaan Islam, terutama pada pemerintahan “khalifah al-Ma’mun” dari dinasti Abbasiyah, yang ditandai dengan sistem pemerintahan yang adil, menjamin kebebasan berpikir sehingga pada zaman itu, berdiri pusat-pusat kajian dan penterjemahan buku-buku filsafat Yunani dan berkumpul berbagai ilmuwan dari berbagai kalangan keagamaan, dengan “sistem ekonomi perdagangan yang terbuka”, di mana saat itu, kota Baghdad menjadi kota perdagangan. Akan tetapi setelah pemerintahan al-Ma’mun, tanda-tanda kejatuhan dan kemunduran kebudayaan Islam mulai merebak, yang ditandai oleh “ketidakmampuannya dalam menyelenggarakan pemerintahan yang adil, sikap hidup para pemimpin dan orang-orang kaya di sekitarnya yang suka berfoya-foya, serta terjadinya frustrasi akademik di kalangan kaum terpelajar.[1]
Puncak kebudayaan Islam itu tidak dicapai dengan seketika, demikian pula halnya kejatuhannya, proses itu berjalan dalam rentang waktu lama, ratus tahun, sejak abad ke tujuh sampai abad ke dua belas masehi. Dalam periode itu, “umat Islam terpukau oleh pemikiran Yunani”, mereka melakukan penterjemahan buku-buku Yunani secara besar-besaran, akan “tetapi mereka mengabaikan fundamental bangunan intelektual” dari akar tradisinya sendiri, yang diwariskan oleh tradisi kenabian. Sir Muhammad Iqbal, melukiskan keadaan itu dengan pernyataannya bahwa mereka membaca Al-Qur’an dengan cahaya pemikiran Yunani, padahal jiwa intelektual yang dibangun oleh al-Qur’an itu bersifat aktual, dalam amal ke salehan sebagai jalan spritual, berbeda dengan jiwa intelektual Yunani yang bercorak spekulatif, dan rasional semata-mata.[2]
Di lihat dari konteks metode berpikir kefilsafatan, barangkali pernyataan adanya “kemajuan kebudayaan” yang disebut dengan kebudayaan Islam itu, sesungguhnya masih bersifat semu saja,” karena sesungguhnya yang ada bukan “kebangkitan kebudayaan Islam”, tetapi kebangkitan kebudayaan Yunani dalam pemerintahan dan masyarakat Islam. Persoalan ini, telah muncul perdebatan akademik dalam pemikiran filsafat dengan sangat serius, apakah filsafat Islam itu pernah ada, karena yang ada adalah bukan filsafat Islam tetapi filsafat Yunani yang diberi baju Islam.[3]
Dalam konsep filsafat Islam, kebudayaan Islam baik pada dataran konsep maupun produk, pada dasarnya harus ditegakkan dan dibangun oleh berfungsinya akal kudus secara seimbang, baik dalam dimensi pikir maupun zikir, berdasarkan wawasan hikmah dan kitab, sehingga kebudayaan Islam tidak dibangun dan ditegakkan berdasarkan rasio semata-mata, yang akan mengakibatkan kebudayaan kehilangan dimensi spritualitasnya, dan mempunyai kecenderungan terlepas dari wawasan moralitas kemanusiaan universal dan spritual agama.
Oleh karena itu, ketahanan suatu kebudayaan sepenuhnya ditentukan oleh keseimbangan “dealektik antara kreaktifitas” dan wawasan moralitas, yang secara seimbang menjadi manifestasi aktual dan dinamis dari keseimbangan “iman” dan “ilmu” dalam tindakan amal kesalehan. Pada dataran ini, kebudayaan menjadi sasaran komunikasi dan dialog kreatif dengan Tuhannya, dalam suatu pertemuan penciptaan yang bermakna ibadah. Di sinilah kebudayaan Islam sebagai penyerahan, ketunduhan dan kepatuhan diri kepada Tuhan dijabarkan secara kreatif dalam penciptaan kebudayaan, yang basisnya adalah “dealektika hukum-hukum Tuhan” yang ada dalam ciptaan-Nya. Dengan demikian, kebudayaan yang demikian akan menghantarkan manusia kepada “salam”, mencapai keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan, di dunia dan akhirat.[4]
Lebih jauh, terkait sejarah intelektual Islam, berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Harun Nasution, maka perkembangannya dikelompokkan kedalam tiga masa yaitu:
1)      Masa Klasik, yaitu antara 650-1250 M,
Di era klasik ini, lahir beberapa tokoh penting di beberapa bidang, antaranya bidang ilmu filsafat, tokohnya antara lain Al-Kindi (194-260 H/809-873 M), Al-Farabi (w 390 H/961 M), Ibnu Bajah (w 523 H), Ibnu Thufail (w 581 H), dan Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M). Ibnu Sina, selain dikenal ahli filsafat, ia juga dikenal sebagai bapak kedokteran Islam. Ia banyak menulis karya, seperti Qanun fi Thib, Asy-Syifa, dan lainnya. Selain nama di atas, tokoh lainnya adalah Al-Ghazali (450-505 H/1058-1101 M). Beberapa karyanya adalah Ihya Ulum Al-Din, Tahafut al-Falasifah, dan al-Munqizh Minadl Dhalal. Kemudian, ada Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1198 M). Karangannya adalah Mabdiul Falasifah, Kasyful Afillah, dan Al-Hawi dalam bidang kedokteran.
Adapun di bidang ilmu kedokteran, selain Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, tokoh lainnya adalah Jabir bin Hayyan (w 161 H/778 M), Hunain bin Ishaq (194-264 H/810-878 M), Thabib bin Qurra (w 901 M), dan Ar-Razi (251-313 H/809-873 M). Di bidang, ilmu matematika, dua orang tokohnya antara lain adalah Umar Al-Farukhan (arsitek pembangunan Kota Baghdad) dan Al-Khawarizmi (pengarang kitab Al-Jabar yang juga menemukan angka nol (0)). Sedangkan, angka 1-9 berasal dari India yang dikembangkan oleh Islam. Karena itu, angka 1-9 disebut pula dengan angka Arab. Namun, setelah ditemukan orang Latin, namanya pun disebut dengan angka Latin. Terakhir di bidang seni ukir, dalam bidang ini, umat Islam cukup terkenal dengan hasil seni pada botol tinta, papan catur, payung, pas bunga, burung-burungan dan pohon-pohonan. Tokohnya antara lain Al-Badr dan Al-Tariff sekitar tahun 961-976 M. Seni ukir yang dikembangkan tidak hanya pada kayu tapi juga pada logam, emas, perak, marmer, mata uang, dan porselin.
2)      Masa Pertengahan, yaitu tahun 1250- 1800 M,
Di zaman atau era pertengahan ini, dalam catatan sejarah pemikiran dan peradaban Islam merupakan masa kemunduran. Sebab utama karena umat Islam mulai menjauhkan filsafat, sehingga muncul kecendrungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan akhirat. Pengaruhnya masih terasa sampai sekarang.
3)      Masa Moderen, yaitu tahun 1800- sekarang.

C.    Masjid Sebagai Pusat Peradaban Islam
J. Pedersen dalam bukunya berjudul Arabic Book  mengungkapkan "Di era kejayaan Islam, masjid tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja, namun juga sebagai pusat kegiatan intelektualitas." Memang sejak awal perkembangannya, masjid terbukti memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan pendidikan di dunia Islam.
Di manapun ajaran Islam berkembang, di situlah bangunan masjid menjulang. Peran masjid kemudian berkembang sebagai tempat menimba ilmu. Sekolah-masjid di era kejayaan Islam mampu menampung murid dalam jumlah ratusan hingga ribuan siswa. Sebagai pusat intelektualitas, masjid-masjid di era kekhalifahan telah dilengkapi dengan perpustakaan. Koleksi bukunya begitu melimpah, karena banyak ilmuwan dan ulama yang mewakafkan bukunya di perpustakaan masjid.
Sejarah peradaban Islam mencatat, aktivitas pendidikan berupa sekolah pertama kali hadir di masjid pada tahun 653 M di kota Madinah. Pada era kekuasaan Dinasti Umayyah, sekolah di Masjid pun mulai muncul di Damaskus pada tahun 744 M. Sejak tahun 900 M, hampir setiap masjid memiliki sekolah dasar yang berfungsi untuk mendidik anak-anak Muslim yang tersebar di dunia Islam.
Pada zaman keemasan Islam, anak-anak mulai disarankan untuk menimba ilmu sejak menginjak usia lima tahun. Pada tahap awal, mereka diajarkan cara untuk menulis 99 nama Allah yang indah atau asmaul husna. Selain itu, anak-anak Muslim di masa kekhalifahan pun mulai diperkenalkan dengan tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang sederhana.
Setelah mahir membaca dan lincah menulis, anak-anak yang belajar di masjid dijarkan Al-Qur’an ditambah pelajaran berhitung atau aritmatika. Para siswa juga bisa mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Masjid-masjid besar, biasanya juga menawarkan pendidikan ilmu yang lebih luas lagi. Di masjid-masjid besar itu, para pelajar di zaman kekhalifahan pun bisa mempelajari beragam ilmu seperti tata bahasa Arab, logika, aljabar, biologi, sejarah, hukum, dan teologi.
Pada perkembangannya, para pelajar juga tak hanya menimba ilmu di masjid saja. Untuk mempraktikan kemampuannya dalam bidang kedokteran, para siswa juga belajar di rumah sakit. Yang tertarik astronomi juga belajar langsung di observatorium. Tempat belajar juga bisa dilakukan di madrasah - umumnya tempatnya berdampingan dengan masjid. Selain itu bisa juga di rumah-rumah para guru.
Di wilayah Spanyol Muslim, aktivitas pendidikan pada umumnya bertempat di masjid. Masjid menjadi pusat aktivitas belajar-mengajar di mulai di daerah kekuasaan Dinasti Umayyah itu sejak berdirnya Masjid Cordoba pada abad ke-8 M. Kegiatan belajar-mengajar di masjid memang terbilang unik dan sangat khas.
Pendidikan yang digelar di masjid pada zaman kejayaan Islam ternyata mampu memberi pengaruh terhadap pendidikan di Eropa. Menurut George Makdisi, guru besar Studi Islam di Universitas Pennsylvania, pendidikan masjid yang diselenggarakan di era kekhalifahan telah memberi pengaruh kepada peradaban Eropa melalui sistem pendidikan, universalitas, metode pengajaran, dan gelar kesarjanaan yang diberikan.
Dari paparan di atas, maka tampak jelas bahwa masjid tidak hanya berfungsi sebagai pusat ibadah ritual, melainkan berfungsi juga sebagai pusat ibadah sosial seperti pendidikan dan ekonomi. Dari kedua fungsi tersebut titik sentral fungsi utama masjid adalah sebagai pusat pembinaan umat Islam. Dengan ungkapan lain, masjid sebagai pusat peradaban Islam.
Lebih dari itu, di dalam setiap peradaban terdapat kebudayaan. Siapa pun orang yang lahir disambut dan diatur oleh kebudayaan. Maka, kebudayaan menjadi modal utama membangun peradaban. Caranya, budaya tersebut dikembangkan dan diawetkan lewat pendidikan, yang dapat melahirkan  high culture (peradaban tinggi). Peradaban yang tinggi inilah kemudian yang akan melahirkan pilar-pilar peradaban, misalnya, ilmu pengetahuan, seni, bahasa, dan sastra. Dan masjid dalam sejarah peradaban Islam merupakan tempat atau pusat lahirnya peradaban Islam tersebut.

D.    Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Indonesia
Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Karena Islam besar dari negara Arab, maka Islam yang masuk ke Indonesia tidak terlepas dari budaya Arabnya. Pada awal-awal masuknya dakwah Islam ke Indonesia dirasakan sangat sulit membedakan mana ajaran Islam dan mana budaya Arab. Masyarakat awam menyamakan antara perilaku yng tampil oleh orang Arab dengan perilaku ajaran Islam. Seolah-olah apa yang dilakukan oleh orang Arab itu semuanya mencerminkan ajaran Islam, bahkan hingga kini budaya Arab masih melekat pada tradisi masyarakat Indonesia.
Dalam perkembangan dakwah Islam di Indonesia, para da’i mendakwahkan ajaran Islam melalui bahasa budaya, sebagaimana dilakukan oleh para wali di tanah Jawa. Karena kehebatan para Wali Allah dalam mengemas ajaran Islam dengan bahasa budaya setempat, sehingga masyarakat setempat tidak sadar bahwa nilai-nilai Islam sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan mereka. Seperti dalam upacara-upara adat dan dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa Al-Qur’an/Arab sudah banyak masuk ke dalam bahasa daerah bahkan ke dalam bahasa Indonesia yang baku. Semua itu tanpa disadari bahwa apa yang dilakukannya merupakan bagian dari ajaran Islam.      






[1] Musa Asy’ari, Filsafat Islam tentang Kebudayaan, (Yogyakarta: LESFI, 1999), hal. 79.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hal. 80.
[4] Ibid., hal. 83.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar