BAB III
HUKUM ISLAM
A. Konsep Hukum Islam
Hukum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikam dengan empat pengertian. Pertama, peraturan atau adat yang secara
resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah. Kedua,
undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup
masyarakat. Ketiga, patokan (kaidah, ketentuam) mengenai peristiwa (alam dan
sebagainya) yang tertentu. Keempat, keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan
oleh hakim (di pengadilan) vonis.
Adapun hukum Islam atau disebut juga hukum syari’at
menurut para ulama adalah hukum yang ditetapkan oleh pembuat syari’at (Allah
SWT) yang berhubungan dengan perbuatan manusia, yang sumber pokoknya adalah Al-Qur’an
dan As-Sunnah yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Lebih dari itu, al-Ghazzali berpendapat bahwa
obyek kajian ilmu hukum Islam (Syari’ah) adalah tingkah laku dalam kaitannya
dengan norma hukum.
Dalam masyarakat Indonesia terdapat berbagai istilah
terkait dengan hukum Islam, yaitu: syari’at Islam, fikih Islam dan hukum Islam
itu sendiri. Istilah-istilah tersebut antara satu dengan yang lainnya memiliki
persamaan dan sekaligus juga mempunyai perbedaan. Syari’at merupakan landasan
fikih, dan fikih merupakan pemahaman orang
yang memenuhi syarat tentang syari’at. Lebih spesifik, hukum Islam yang
ditetapkan secara langsung dan tegas oleh Allah, yakni hukum-hukum yang
diturunkan dari dalil yang qath’i, dikenal dengan istilah syariat.
Sedangkan hukum yang ditetapkan pokoknya saja, yakni hukum yang ditetapkan oleh
dalil yang zhanni, yang dapat atau perlu dikembangkan dengan ijtihad
dikenal dengan istilah fikih.
Lebih jauh, tujuan dari hukum Islam secara umum untuk
mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi umat
manusia.; mengarahkan mereka kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup
manusia dan mencegah atau menolak yang madharat yaitu yang tidak berguna bagi
hidup dan kehidupan manusia. Secara lebih rinci, Abu Ishaq al-Shatibi dalam
kitabnya Al-Muwafaqat merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni
memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta. Kelima
hal tersebut dikenal dengan istilah “maqashid al-Syari’ah atau maqashid
al-Khamsah” yang mana kelima tujuan tersebuttelah disepakati oleh para ahli
hukum Islam (fuqaha).
B. Prinsip-prinsip Hukum
Islam
Prof. Dr. Juhaya S. Praja dalam bukunya Filsafat hukum
Islam, telah menetapkan beberapa prinsip dalam hukum Islam. Prinsip tersebut
dibagi dua yaitu prinsip umum dan prinsip khusus. Prinsip umum merupakan prinsip keseluruhan
hukum Islam yag bersifat unuversal. Adapun prinsip khusus adalah
prinsip-prinsip setiap cabang hukum Islam.
Secara garis besar prinsip umum hukum Islam ada tujuh
macam, yakni:
- Prinsip Tauhid
Prinsip ini menjelaskan bahwa seluruh manusia ada di bawah
ketetapan yang sama sebagai hamba Allah SWT. Dalam Surat Al-A’raaf (7) ayat 172
dijelaskan bahwa seluruh manusia pada awalnya yaitu ketika belum terlahir ke
dunia (alam ruh) telah mengakui ke-esaan Allah SWt. Maka dalam pandangan Islam
pada dasarnya semua manusia mempunyai potensi dan kualitas yang sama yakni
potensi bertauhid (potensi bertuhan) di mana hal tersebut pernah dikukuhkan/
diakui sebelumnya. Berikut ini merupakan ayat tersebut:
Artinya : ”Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Rabbmu. Mereka
menjawab: Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami
(Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb). (QS.
7:172)”.
Lebih lanjut, dalam
surat ketiga, surat Ali-Imran ayat 64, Allah SWT berfirman:
Artinya: “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah
(berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah. Jika mereka berpaling maka
katakanlah kepada mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah). (QS. 3:64).”
Berdasarkan prinsip tauhid tersebut, maka pelaksanaan dan pengamalan
hukum Islam merupakan suatu ibadah, yaitu penghambaan manusia kepada Allah SWT.
Ibadah tersebut merupakan perwujudan pengakuan atas keesaan Allah SWT. Dengan
demikian adalah suatu pelanggaran yang dinilai berat oleh Islam apabila ada
manusia yang menuhankan sesama makhluk.
Dari prinsip umum tersebut dapat ditarik beberapa prinsip
khusus, diantaranya adalah:
a.
Prinsip berhubungan langsung dengan Allah SWT tanpa
perantara. Diantara ayat yang menjelaskan hal ini adalah surat al-Baqarah (2):
186:
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. 2:186).”
b.
Beban hukum yang diciptakan oleh Allah SWT bertujuan
untuk kemashlahatan manusia, bukan untuk kepentingan Allah SWT. Sehingga Allah
AWT pasti tidak akan membebani hamba-Nya di luar kemampuannya. Di antara ayat
yang menjelaskan prinsip ini adalah Surat al-Israa’ (17): 7:
Artinya: “Jika kamu berbuat baik (berarti) berbuat
baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi
dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua,
(Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka
masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama
dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. (QS. 17:7).”
Kemudian terdapat juga dalam surat Al-Baqarah (2):
185:
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa di bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur. (QS. 2:185).”
Ayat tersebut ada dalam rangkaian ayat yang
menjelaskan tentang puasa Ramadhan, sehingga dalam urusan ibadah mahdhah dapat
dirumuskan suatu prinsip asa kemudahan atau meniadakan kesulitan.
- Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan mengandung pengertian bahwa hukum Islam yang
mengatur persoalan manusia dari berbagai aspeknya harus dilandaskan kepada
prinsip keadilan yang meliputi hubungan antara individu dengan dirinya sendiri,
individu dengan manusia dan masyarakatnya serta hubungan antara individu dengan
lingkungannya.
Beberpa ayat terkait dengn prinsip ini adalah surat
Al-Maai’dah (5) ayat 8 berikut ini:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 5:8).”
Lebih jauh, bahkan terhadap kerbat sekalipun maka keadilan
itu harus tetap ditegakkan. Hal ini diisyaratkan dalam surat Al-An’aam (6):
152:
Artinya: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim,
kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata,
maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu), dan
penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu
ingat, (QS. 6:152).”
Kalau dalam hukum positif dikenal prinsip memiliki kedudukan
sama di muka hukum maka Islam mewajibkan bukan hanya manusia harus dimuka hukum
tetapi dalam seluruh aspeknya harus adil, bahkan terhadap musuh sekalipun.
Dari prinsip keadilan ini maka lahirlah kaidah dlam hukum
Islam yang menyatakan bahwa hukum Islam dalam prakteknya dapat beradaptasi
sesuai ruang dan waktu. Ketika terjadi perubahan. Maka yang sulit menjadi mudah
dan kemudahan tersebut sebatas terpenuhinya kebutuhan pokok. Dari sini muncul
kaidah: “Masalah-masalah dalam hukum Islam apabila telah menyempit maka menjadi
meluas, apabila masalah-masalah tersebut telah meluas maka kembali menyempit”.
- Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip pertama
dan kedua. Amar ma’ruf ini mengandung arti bahwa Hukum Islam ditegakkan
untuk menjadikan umat manusia dapat melaksanakan hal-hal yang baik dan benar
sebagaimana dikehendaki oleh Allah SWT. Sedangkan nahi munkar mengandung
arti hukum Islam ditegakkan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang buruk yang
dapat meruntuhkan kehidupan bermasyarakat.
Di antara paparan al-qur’an yang menerangkan prinsip ini
adalah surat Ali-Imron (3): 110:
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik. (QS. 3:110).”
Juga terdapat di surat yang sama ayat 104:
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah
dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (QS. 3:104).”
- Prinsip Kemerdekaan dan Kebebasan (Al-Hurriyah)
Prinsip ini mengandung arti bahwa hukum Islam tidak
diterapkan berdasarkan paksaan, akan tetapi berdasarkan penjelasan yang baik
dan argumentatif yang dapat meyakinkan. Apakah manusia pada akhirnya menolak
atau menerima sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing individu.
Beberapa ayat al-Qur’an menjelaskan tentang prinsip ini,
antara lain dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 256:
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. 2:256)
Juga dalam surat Al-Kafiruun (109): 6:
Artinya: “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku
(QS. 109:6).”
- Prinsip Persamaan (Musawah / egaliter)
Prinsip persamaan ini mengandung makna bahwa pada
dasarnya semua manusia adalah sama meskipun faktanya berbeda dalam lahiriahnya,
baik warna kulit, bahasa, suku bangsa dan sebagainya. Kesamaan tersebut,
terutama dalam hal nilai kemanusiaannya. Hukum Islam memandang perbedaan secara
lahiriah tidak menjadikan manusia berbeda dari segi nilai kemanusiaannya.
Sungguh banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan prinsip ini, diantaranya adalah
surat Al-Hujuraat (49): 13:
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal (QS. 49:13).”
Dari ayat tersebut, nampak jelas bahwa yang membedakan
nilai kemanusiaan dalam pandangan hukum Islam adalah faktor ketakwaan, bukan
karena ras, warna kulit dan sisi lkahiriahnya. Dalam ayat lai, surat al-Israa’
(17): 70, Allah SWT lebih menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang lebih
dimuliakan dibanding jenis makhluk lainnya.
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka
rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. 17:70).”
- Prinsip Tolong-Menolong (Ta’awun)
Prinsip ini mengajarkan bahwa sesama warga masyarakat
harus saling tolong menolong demi tercapainya kemashlahatan bersama. Di anatara
ayat yang menjadi landasan prinsip ini adalah surat al-Maidah (5): 2:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan
haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang
qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Rabbnya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidil Haram, mendorong kamu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. 5:2).”
- Prinsip Toleransi (Tasamuh)
Prinsip ini mengajarkan bahwa hukum Islam mengharuskan
kepada umatnya untuk hidup penuh dengan suasana damai dan toleransi. Toleransi
ini harus menjamin tidak dilanggarnya hukum Islam dan hak Umat Islam.
Di antara ayat yang menjelasjan prinsip ini adalah surat
Al-Mumtahanah (60): 8:
Artinya: ” Allah tiada melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil. (QS. 60:8).”
C. Sumber Hukum Islam dan Macam-Macam Hukum
Islam
Sumber hukum
merupakan terjemahan dari bahasa Arab مَصَادِرُ الْأَحْكَامِ. Istilah lain yang
semakna adalah أُصُوْلُ الْأَحْكَامِ, أَدِلَّةُ الْأَحْكَامِ, مَصَادِرُ التَّشْرِعِيَّةِ لِلْأَحْكَام.
Sumber hukum Islam lebih dikenal dengan istilah “دَلِيْلُ”, jamaknya “” atau "دَلاَئِلُ", lengkapnya “أَدِلَّةُ الْأَحْكَامِ”.
Dalil secara bahasa
bermakna “petunjuk terhadap sesuatu baik hissi (konkrit) maupun maknawi
(abstrak), baik petunjuk itu kepada kebaikan ataupun kepada kejelekan.
Sedangkan defenisi dalil menurut para ahli Usul Fikih adalah: “Sesuatu yang
menurut pemikiran yang sejahtera menunjukkan pada Hukum Syara’ yang amali, baik
dengan jalan pasti (yakin) ataupun dengan jalan dugaan kuat.”
Adapun klasifikasi sumber
hukum islam (dalil) dari segi asalnya adalah:
1.
Dalil Naqly (Nas), dalil yang
berasal dari Nas secara langsung, yaitu nas ayat al-Quran dan al-hadis/Sunnah.
2.
Dalil Aqly (Ra’yu), ra’yu
adalah pikiran manusia yang sejahtera, terlepas dari pengaruh hawa nafsu. Dalil
ini disebut juga dengan Ijtihad, baik ijtihad perseorangan maupun kolektif
(Ijma’).
Sementara
itu, hukum Islam terdiri dari lima
macam, yaitu fardlu
(wajib), haram, mandub (sunat), makruh, dan mubah.
1. Wajib
Wajib Yaitu suatu perkara yang apabila di
kerjakan mendapat pahala dan jika di tinggalkan mendapat dosa.
Wajib atau fardhu itu dibagi menjadi dua bagian :
a. Wajib ‘ain:
Wajib ‘ain Yaitu kewajiban yang di bebankan kepada
setiap orang mukallaf, seperti shalat lima waktu, puasa dan sebagainya.
b. Wajib kifâyah:
Wajib kifâyah yaitu suatu kewajiban yang sudah dianggap
cukup apabila telah dikerjakan oleh sebagian orang mukallaf, dan seluruhnya
akan berdosa jika tidak seorangpun dari mereka yang mengerjakanya, seperti
menyolati mayit dan menguburkanya.
2. Sunnat
Sunnat yaitu suatu perkara yang apabila
dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa. Sunnat di
bagi menjadi dua :
a. Sunnat muakkad
Sunnat muakkad yaitu sunnat yang sangat dianjurkan untuk
dikerjakan baik karena merupakan penyempurna ibadah fardlu, atau karena sunnat
tersebut seringkali dilakukan oleh Nabi, seperti shalat rawâtib, shalat dua
hari raya fithri dan adlha dan sebagainya.
b. Sunnat ghairu muakkad
Sunnat ghairu muakkad yaitu sunnat yang tidak sesuai
dengan kriteria di atas, seperti shalat qobliyyah maghrib.
3. Haram
Haram yaitu suatu perkara yang apabila
ditinggalkan mendapat pahala dan jika dikerjakan mendapat dosa, seperti
minum-minuman keras, berdusta, mendurhakai orang tua dan sebagainya.
4. Makruh
Makruh yaitu suatu perkara yang apabila di
kerjakan tidak berdosa, dan apabila ditinggalkan akan mendapatkan pahala,
seperti makan bawang merah mentah dan sebagainya.
5. Mubah
Mubah yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan
atau ditinggalkan tidak mendapat pahala dan juga tidak.
D. Fungsi Hukum Islam dalam
Kehidupan Bermasyarakat
Hukum
Islam (syariat Islam) oleh Zarkasji Abdul Salam dan Oman Fathurohman dalam buku Pengantar
Ilmu Fiqih Usul Fiqih dijelaskan berfungsi sebagai :
1.
Pedoman dan petunjuk bagi manusia di dalam mengatur
diri dan masyarakat.
2.
Alat penyeimbang di antara unsur yang baik dan yang
tidak baik yang terdapat di dalam diri manusia.
3.
Alat untuk mendidik manusia menjadi suci lahir dan batin.
Adapun seorang
Fuqaha asal Mesir, Prof. M. Abu Zahra menyatakan ada tiga (3) sasaran hukum Islam. Tiga sasaran itu adalah:
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa
menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya;
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat.
Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehiudupan di bidang hukum, muamalah;
3. Tercapainya mashlahah (merupakan
puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa masalah yang menjadi puncak sasaran di
atas meliputi 5 jaminan dasar, yaitu:
·
Keselamatan
keyakinan agama (al-din);
·
Keselamatan
Jiwa (al-nafs);
·
Keselamatan
Akal (al-aql);
·
Keselamatan
Keluarga dan keturunan (al-nasl);
·
Keselamatan
Harta benda (al-mal).
E. Kontribusi Umat Islam
dalam Perumusan dan Penegakan Hukum
Kontribusi
Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum nasional nampak jelas pada
produk perundangan yang dibuat pemerintah dan parlemen untuk mengatur
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak
tahun 70-an belum ada tanda-tanda hukum Islam yang masuk ke dalam tataran
perundangan nasional. Tapi setelah itu mulai muncul, misalnya melalui Undang-Undang Republik
Indonesia No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan berikut PP-nya, dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam. Bahkan sebelumnya, telah lahir Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
Lebih dari
itu, di era reformasi setidaknya didapati beberapa produk perundangan terkait
dengan umat Islam (Hukum Islam), yaitu: Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji, Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan, hukum Islam
ikut berkontribusi di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar