Selasa, 10 Juli 2012

BAB VI MATERI HUKUM ISLAM

BAB III

HUKUM ISLAM

A. Konsep Hukum Islam
Hukum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikam dengan empat pengertian. Pertama, peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah. Kedua, undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat. Ketiga, patokan (kaidah, ketentuam) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu. Keempat, keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (di pengadilan) vonis.
Adapun hukum Islam atau disebut juga hukum syari’at menurut para ulama adalah hukum yang ditetapkan oleh pembuat syari’at (Allah SWT) yang berhubungan dengan perbuatan manusia, yang sumber pokoknya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya.  Lebih dari itu, al-Ghazzali berpendapat bahwa obyek kajian ilmu hukum Islam (Syari’ah) adalah tingkah laku dalam kaitannya dengan norma hukum.
Dalam masyarakat Indonesia terdapat berbagai istilah terkait dengan hukum Islam, yaitu: syari’at Islam, fikih Islam dan hukum Islam itu sendiri. Istilah-istilah tersebut antara satu dengan yang lainnya memiliki persamaan dan sekaligus juga mempunyai perbedaan. Syari’at merupakan landasan fikih, dan fikih merupakan pemahaman orang  yang memenuhi syarat tentang syari’at. Lebih spesifik, hukum Islam yang ditetapkan secara langsung dan tegas oleh Allah, yakni hukum-hukum yang diturunkan dari dalil yang qath’i, dikenal dengan istilah syariat. Sedangkan hukum yang ditetapkan pokoknya saja, yakni hukum yang ditetapkan oleh dalil yang zhanni, yang dapat atau perlu dikembangkan dengan ijtihad dikenal dengan istilah fikih.   
Lebih jauh, tujuan dari hukum Islam secara umum untuk mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia.; mengarahkan mereka kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia dan mencegah atau menolak yang madharat yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan manusia. Secara lebih rinci, Abu Ishaq al-Shatibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta. Kelima hal tersebut dikenal dengan istilah “maqashid al-Syari’ah atau maqashid al-Khamsah” yang mana kelima tujuan tersebuttelah disepakati oleh para ahli hukum Islam (fuqaha). 

B. Prinsip-prinsip Hukum Islam
Prof. Dr. Juhaya S. Praja dalam bukunya Filsafat hukum Islam, telah menetapkan beberapa prinsip dalam hukum Islam. Prinsip tersebut dibagi dua yaitu prinsip umum dan prinsip khusus.  Prinsip umum merupakan prinsip keseluruhan hukum Islam yag bersifat unuversal. Adapun prinsip khusus adalah prinsip-prinsip setiap cabang hukum Islam.
Secara garis besar prinsip umum hukum Islam ada tujuh macam, yakni:
  1. Prinsip Tauhid
Prinsip ini menjelaskan bahwa seluruh manusia ada di bawah ketetapan yang sama sebagai hamba Allah SWT. Dalam Surat Al-A’raaf (7) ayat 172 dijelaskan bahwa seluruh manusia pada awalnya yaitu ketika belum terlahir ke dunia (alam ruh) telah mengakui ke-esaan Allah SWt. Maka dalam pandangan Islam pada dasarnya semua manusia mempunyai potensi dan kualitas yang sama yakni potensi bertauhid (potensi bertuhan) di mana hal tersebut pernah dikukuhkan/ diakui sebelumnya. Berikut ini merupakan ayat tersebut:
Artinya : ”Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Rabbmu. Mereka menjawab: Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb). (QS. 7:172)”.
  Lebih lanjut, dalam surat ketiga, surat Ali-Imran ayat 64, Allah SWT berfirman:
Artinya: “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). (QS. 3:64).”
Berdasarkan prinsip tauhid tersebut, maka pelaksanaan dan pengamalan hukum Islam merupakan suatu ibadah, yaitu penghambaan manusia kepada Allah SWT. Ibadah tersebut merupakan perwujudan pengakuan atas keesaan Allah SWT. Dengan demikian adalah suatu pelanggaran yang dinilai berat oleh Islam apabila ada manusia yang menuhankan sesama makhluk.
Dari prinsip umum tersebut dapat ditarik beberapa prinsip khusus, diantaranya adalah:
a.       Prinsip berhubungan langsung dengan Allah SWT tanpa perantara. Diantara ayat yang menjelaskan hal ini adalah surat al-Baqarah (2): 186:
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. 2:186).”
b.      Beban hukum yang diciptakan oleh Allah SWT bertujuan untuk kemashlahatan manusia, bukan untuk kepentingan Allah SWT. Sehingga Allah AWT pasti tidak akan membebani hamba-Nya di luar kemampuannya. Di antara ayat yang menjelaskan prinsip ini adalah Surat al-Israa’ (17): 7:
Artinya: “Jika kamu berbuat baik (berarti) berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. (QS. 17:7).”
Kemudian terdapat juga dalam surat Al-Baqarah (2): 185:
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. 2:185).”
Ayat tersebut ada dalam rangkaian ayat yang menjelaskan tentang puasa Ramadhan, sehingga dalam urusan ibadah mahdhah dapat dirumuskan suatu prinsip asa kemudahan atau meniadakan kesulitan.
  1. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan mengandung pengertian bahwa hukum Islam yang mengatur persoalan manusia dari berbagai aspeknya harus dilandaskan kepada prinsip keadilan yang meliputi hubungan antara individu dengan dirinya sendiri, individu dengan manusia dan masyarakatnya serta hubungan antara individu dengan lingkungannya.
Beberpa ayat terkait dengn prinsip ini adalah surat Al-Maai’dah (5) ayat 8 berikut ini:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 5:8).”
Lebih jauh, bahkan terhadap kerbat sekalipun maka keadilan itu harus tetap ditegakkan. Hal ini diisyaratkan dalam surat Al-An’aam (6): 152:
Artinya: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat, (QS. 6:152).”
Kalau dalam hukum positif dikenal prinsip memiliki kedudukan sama di muka hukum maka Islam mewajibkan bukan hanya manusia harus dimuka hukum tetapi dalam seluruh aspeknya harus adil, bahkan terhadap musuh sekalipun.
Dari prinsip keadilan ini maka lahirlah kaidah dlam hukum Islam yang menyatakan bahwa hukum Islam dalam prakteknya dapat beradaptasi sesuai ruang dan waktu. Ketika terjadi perubahan. Maka yang sulit menjadi mudah dan kemudahan tersebut sebatas terpenuhinya kebutuhan pokok. Dari sini muncul kaidah: “Masalah-masalah dalam hukum Islam apabila telah menyempit maka menjadi meluas, apabila masalah-masalah tersebut telah meluas maka kembali menyempit”.  

  1. Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip pertama dan kedua. Amar ma’ruf ini mengandung arti bahwa Hukum Islam ditegakkan untuk menjadikan umat manusia dapat melaksanakan hal-hal yang baik dan benar sebagaimana dikehendaki oleh Allah SWT. Sedangkan nahi munkar mengandung arti hukum Islam ditegakkan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang buruk yang dapat meruntuhkan kehidupan bermasyarakat.
Di antara paparan al-qur’an yang menerangkan prinsip ini adalah surat Ali-Imron (3): 110:
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. 3:110).”
Juga terdapat di surat yang sama ayat 104:
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (QS. 3:104).”

  1. Prinsip Kemerdekaan dan Kebebasan (Al-Hurriyah)
Prinsip ini mengandung arti bahwa hukum Islam tidak diterapkan berdasarkan paksaan, akan tetapi berdasarkan penjelasan yang baik dan argumentatif yang dapat meyakinkan. Apakah manusia pada akhirnya menolak atau menerima sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing individu.
Beberapa ayat al-Qur’an menjelaskan tentang prinsip ini, antara lain dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 256:
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. 2:256)
Juga dalam surat Al-Kafiruun (109): 6:
Artinya: “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku (QS. 109:6).”

  1. Prinsip Persamaan (Musawah / egaliter)
Prinsip persamaan ini mengandung makna bahwa pada dasarnya semua manusia adalah sama meskipun faktanya berbeda dalam lahiriahnya, baik warna kulit, bahasa, suku bangsa dan sebagainya. Kesamaan tersebut, terutama dalam hal nilai kemanusiaannya. Hukum Islam memandang perbedaan secara lahiriah tidak menjadikan manusia berbeda dari segi nilai kemanusiaannya. Sungguh banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan prinsip ini, diantaranya adalah surat Al-Hujuraat (49): 13:
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. 49:13).”
Dari ayat tersebut, nampak jelas bahwa yang membedakan nilai kemanusiaan dalam pandangan hukum Islam adalah faktor ketakwaan, bukan karena ras, warna kulit dan sisi lkahiriahnya. Dalam ayat lai, surat al-Israa’ (17): 70, Allah SWT lebih menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang lebih dimuliakan dibanding jenis makhluk lainnya.
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. 17:70).”   

  1. Prinsip Tolong-Menolong (Ta’awun)
Prinsip ini mengajarkan bahwa sesama warga masyarakat harus saling tolong menolong demi tercapainya kemashlahatan bersama. Di anatara ayat yang menjadi landasan prinsip ini adalah surat al-Maidah (5): 2:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Rabbnya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorong kamu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. 5:2).”

  1. Prinsip Toleransi (Tasamuh)
Prinsip ini mengajarkan bahwa hukum Islam mengharuskan kepada umatnya untuk hidup penuh dengan suasana damai dan toleransi. Toleransi ini harus menjamin tidak dilanggarnya hukum Islam dan hak Umat Islam.
Di antara ayat yang menjelasjan prinsip ini adalah surat Al-Mumtahanah (60): 8:
Artinya: ” Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. 60:8).”



C. Sumber Hukum Islam dan Macam-Macam Hukum Islam
Sumber hukum merupakan terjemahan dari bahasa Arab مَصَادِرُ الْأَحْكَامِ. Istilah lain yang semakna adalah أُصُوْلُ الْأَحْكَامِ, أَدِلَّةُ الْأَحْكَامِ, مَصَادِرُ التَّشْرِعِيَّةِ لِلْأَحْكَام. Sumber hukum Islam lebih dikenal dengan istilah “دَلِيْلُ”, jamaknya “” atau "دَلاَئِلُ", lengkapnya “أَدِلَّةُ الْأَحْكَامِ.
Dalil secara bahasa bermakna “petunjuk terhadap sesuatu baik hissi (konkrit) maupun maknawi (abstrak), baik petunjuk itu kepada kebaikan ataupun kepada kejelekan. Sedangkan defenisi dalil menurut para ahli Usul Fikih adalah: “Sesuatu yang menurut pemikiran yang sejahtera menunjukkan pada Hukum Syara’ yang amali, baik dengan jalan pasti (yakin) ataupun dengan jalan dugaan kuat.”
Adapun klasifikasi sumber hukum islam (dalil) dari segi asalnya adalah:
1.      Dalil Naqly (Nas), dalil yang berasal dari Nas secara langsung, yaitu nas ayat al-Quran dan al-hadis/Sunnah.
2.      Dalil Aqly (Ra’yu), ra’yu adalah pikiran manusia yang sejahtera, terlepas dari pengaruh hawa nafsu. Dalil ini disebut juga dengan Ijtihad, baik ijtihad perseorangan maupun kolektif (Ijma’).  

Sementara itu, hukum  Islam terdiri dari lima macam, yaitu fardlu (wajib), haram, mandub (sunat), makruh, dan mubah.
1. Wajib
Wajib Yaitu suatu perkara yang apabila di kerjakan mendapat pahala dan jika di tinggalkan mendapat dosa.
Wajib atau fardhu itu dibagi menjadi dua bagian :
a. Wajib ‘ain:
Wajib ‘ain Yaitu kewajiban yang di bebankan kepada setiap orang mukallaf, seperti shalat lima waktu, puasa dan sebagainya.
b. Wajib kifâyah:
Wajib kifâyah yaitu suatu kewajiban yang sudah dianggap cukup apabila telah dikerjakan oleh sebagian orang mukallaf, dan seluruhnya akan berdosa jika tidak seorangpun dari mereka yang mengerjakanya, seperti menyolati mayit dan menguburkanya.
2. Sunnat
Sunnat yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa. Sunnat di bagi menjadi dua :
a. Sunnat muakkad
Sunnat muakkad yaitu sunnat yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan baik karena merupakan penyempurna ibadah fardlu, atau karena sunnat tersebut seringkali dilakukan oleh Nabi, seperti shalat rawâtib, shalat dua hari raya fithri dan adlha dan sebagainya.
b. Sunnat ghairu muakkad
Sunnat ghairu muakkad yaitu sunnat yang tidak sesuai dengan kriteria di atas, seperti shalat qobliyyah maghrib.
3. Haram
Haram yaitu suatu perkara yang apabila ditinggalkan mendapat pahala dan jika dikerjakan mendapat dosa, seperti minum-minuman keras, berdusta, mendurhakai orang tua dan sebagainya.
4. Makruh
Makruh yaitu suatu perkara yang apabila di kerjakan tidak berdosa, dan apabila ditinggalkan akan mendapatkan pahala, seperti makan bawang merah mentah dan sebagainya.
5. Mubah
Mubah yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan atau ditinggalkan tidak mendapat pahala dan juga tidak.

D. Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat
Hukum Islam (syariat Islam) oleh Zarkasji Abdul Salam dan Oman Fathurohman dalam buku Pengantar Ilmu Fiqih Usul Fiqih dijelaskan berfungsi sebagai :
1.      Pedoman dan petunjuk bagi manusia di dalam mengatur diri dan masyarakat.
2.      Alat penyeimbang di antara unsur yang baik dan yang tidak baik yang terdapat di dalam diri manusia.
3.      Alat untuk mendidik manusia menjadi suci lahir dan batin.
Adapun seorang Fuqaha asal Mesir, Prof. M. Abu Zahra menyatakan ada tiga (3) sasaran hukum Islam. Tiga sasaran itu adalah:
1.      Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya;
2.      Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehiudupan di bidang hukum, muamalah;
3.      Tercapainya mashlahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa masalah yang menjadi puncak sasaran di atas meliputi 5 jaminan dasar, yaitu:
·         Keselamatan keyakinan agama (al-din);
·         Keselamatan Jiwa (al-nafs);
·         Keselamatan Akal (al-aql);
·         Keselamatan Keluarga dan keturunan (al-nasl);
·         Keselamatan Harta benda (al-mal).

E. Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum
Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum nasional nampak jelas pada produk perundangan yang dibuat pemerintah dan parlemen untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak tahun 70-an belum ada tanda-tanda hukum Islam yang masuk ke dalam tataran perundangan nasional. Tapi setelah itu mulai muncul, misalnya melalui Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik,  Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berikut PP-nya, dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Bahkan sebelumnya, telah lahir Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Lebih dari itu, di era reformasi setidaknya didapati beberapa produk perundangan terkait dengan umat Islam (Hukum Islam), yaitu: Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan, hukum Islam ikut berkontribusi di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar