Selasa, 10 Juli 2012

BAB X MASYARAKAT MADANI



BAB VII

MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMAT

A.    Konsep Masyarakat Madani
Masyarakat madani atau civil society secara umum bisa diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi sosial yang memiliki ciri-ciri antara lain: kemandirian, toleransi, keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain, dan menjunjung tinggi norma dan etika yang disepakati secara bersama-sama (Din Syamsudin, 1998 : 12). Sebenarnya masyarakat madani secara substansial sudah ada sejak zaman Aristoteles, yakni suatu masyarakat yang dipimpin dan tunduk pada hukum. Penguasa, rakyat dan siapapun harus taat dan patuh pada hukum yang telah dibuat secara bersama-sama. Bagi Aristoteles, siapapun bisa memimpin negara secara bergiliran dengan syarat ia bisa berbuat adil. Dan keadilan baru bisa ditegakkan apabila setiap tindakan didasarkan pada hukum. Jadi hukum merupakan ikatan moral yang bisa membimbing manusia agar senantiasa berbuat adil.
Dalam mendefinisikan terma masyarakat madani ini sangat tergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan terma yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat. Sebagai titik tolak, disini akan dikemukakan beberapa definisi masyarakat dari berbagai pakar di berbagai negara yang menganalisa dan mengkaji fenomena masyarakat madani ini:
1)      Menurut Zbigniew Rau, masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Ruang ini timbul di antara hubungan-hubungan yang merupakan hasil komitmen keluarga dan hubungan-hubungan yang menyangkut kewajiban mereka terhadap negara. Lebih tegasnya terdapat ruang hidup dalam kehidupan sehari-hari serta memberikan integritas sistem nilai yang harus ada dalam masyarakat madani, yakni individualisme, pasar dan pluralisme.
2)      Menurut Han Sung-joo, masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang publik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalamnya.
3)      Menurut Kim Sunhyuk, masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relatif otonom dari negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari reproduksi dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam ruang publik, guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.
Dari berbagai batasan di atas, jelas merupakan suatu analisa dari kajian kontekstual terhadap performa yang diinginkan dalam mewujudkan masyarakat madani. Hal tersebut dapat dilihat dari perbedaan penekanan dalam mensyaratkan idealisme masyarakat madani. Akan tetapi secara global dari ketiga batasan di atas dapat ditarik benang emas, bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan negara, memiliki ruang publik dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.
Masyarakat madani identik dengan cita-cita Islam membangun ummah. Masyarakat madani adalah suatu ruang (realm) partisipasi masyarakat melalui perkumpulan-perkumpulan sukarela (voluntary association) melalui organisasi-organisasi massa. Masyarakat madani dan negara bergantung mana yang dianggap primer dan mana yang sekunder. Sepertinya menurut pendapat tersebut, hak berserikat merupakan prinsip dalam kehidupan bermasyarakat. Kelompok-kelompok masyarakat tercipta tiada lain untuk terjadi integrasi dalam membangun manyarakat yang berperadaban.
Sementara itu secara filosofis Yusuf (1998) memandang masyarakat madani membangun kehidupan masyarakat beradab yang ditegakkan di atas akhlakul karimah, masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis dengan landasan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Kualitas manusia bertaqwa secara essensial adalah manusia yang memelihara hubungan dengan Allah SWT (habl min Allah) dan hubungannya dengan sesama manusia (habl min al-nas). Akhlakul karimah dapat terwujud manakala masing-masing individu dan kelompok masyarakat terjadi saling membelajarkan atau berperan sebagai pembawa kearah kebenaran yang digariskan oleh Allah. Karena Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum manakala mereka tidak berbuat ke arah perbaikan yang dikehendakinya.
Dari paparan di atas, dapat ditangkap makna utama dari masyarakat madani adalah masyarakat yang menjadikan nilai-nilai peradaban sebagai ciri utama. Karena itu dalam sejarah pemikiran filsafat, sejak filsafat yunani sampai masa filsafat Islam juga dikenal istilah madinah atau polis, yang berarti kota, yaitu masyarakat yang maju dan berperadaban. Masyarakat madani menjadi simbol idealisme yang diharapkan oleh masyarakat.
Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT memberikan ilustrasi masyarakat ideal, sebagai gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam surat Saba’ (34) ayat 15, yang penggalan artinya: “...................(negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun. Berikut adalah dalilnya:
Artinya: “Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Rabb) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.(kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Rabb-mu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya.(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabb-mu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun. (QS. 34:15)”
Lebih dari itu, perlu diketahui karakteristik ataupun prinsip-prinsip yang merupakan prasyarat untuk merealisasikan wacana masyarakat madani tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dan merupakan satu kesatuan yang terintegral dan menjadi dasar serta nilai bagi masyarakat. Adapun karakteristiknya, menurut Dr. Ali Nurdin, antara lain:
(1)   Keadilan
Keadilan merupakan sunnatullah atau hukum alam yang merupakan perintah untuk ditegakkan. Keadilan merupakan sunnatullah dimana Allah menciptakan alam semesta dengan prinsip keadilan dan keseimbangan. Dalam Al-Qur’an disebutkan keadilan sebagai hukum keseimbangan yang menjadi hukum jagad raya.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 5 : 8)”
(2)   Supremasi Hukum
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. 4: 58)”
Rasulullah menyatakan dengan tegas bahwa hancurnya bangsa-bangsa terdahulu karena hukum tidak ditegakkan secara benar. Berikut adalah hadis yang menyebutkan betapa pentingnya supremasi hukum untuk ditegakkan:
§  "Sesungguhnya telah binasa orang-orang yang sebelum kamu yaitu sekiranya yang mencuri itu yang berpangkat tinggi, lalu mereka dibiarkan saja. Tetapi jika yang mencuri itu mereka yang lemah, lalu dengan segera dijatuhkan hukuman ke atasnya. Demi Allah yang aku di dalam kekuasaan-Nya, kalaulah Fatimah binti Muhammad (anak Nabi SAW yang sangat dikasihi) mencuri, niscaya kupotong tangannya."
(3)   Egaliteranisme (persamaan)
Egalitariasime artinya adalah persamaan, tidak mengenal sistem dinasti geneologis. Maksudnya adalah masyarakat madani tidak melihat keutamaan atas dasar keturunan, ras, etnis dan lain-lain, melainkan atas prestasi. Prinsip ini akan mewujudkan keterbukaan dimana seluruh anggota masyarakat berpartisipasi dalam ruang publik baik terkait kebijakan-kebijakan maupun dalam menentukan pemimpin. Dalam bahas Al-Qur’an manusia dan warga negara dihargai atas dasar ketakwaannya. Allah menegaskan:
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. 49:13)”
(4)   Pluralisme
Pada dasarnya, pluralisme adalah sebuah pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri dari satu kelompok, suku, warna kulit, dan agama saja. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar mereka bisa saling belajar, bergaul, dan membantu antara satu dan lainnya. Pluralisme mengakui perbedaan-perbedaan itu sebagai sebuah realitas yang pasti ada di mana saja. Justru, dengan pluralisme itu akan tergali berbagai komitmen bersama untuk memperjuangkan sesuatu yang melampaui kepentingan kelompok dan agamanya. Kepentingan itu antara lain adalah perjuangan keadilan, kemanusiaan, pengentasan kemiskinan, dan kemajuan pendidikan. Maka, pendefinisian pluralisme sebagai sebuah relativisme adalah sebuah kesalahan yang fatal. Sebab, pluralisme sendiri mengakui adanya tradisi iman dan keberagamaan yang berbeda antara satu agama dengan agama lainnya.
Kesadaran pluralisme diwujudkan untuk bersikap toleran dan saling menghormati tanpa membeda-medakan satu dengan lainnya. Al-Qur’an menegaskan dalam surat Yunus (10) ayat 99 sebagai berikut:
Artinya: “Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”
Selanjutnya Allah berfirman dalam surat ke 6, surat Al-An’aam ayat 108:
Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb mereka kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. 6:108)”
Pengakuan terhadap pluralisme agama dalam sebuah komunitas sosial menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusivitas (keterbukaan) –suatu prinsip yang mengutamakan akomodasi dan bukan konflik- di antara mereka. Sebab, pada dasarnya masing-masing agama mempunyai berbagai klaim kebenaran yang ingin ditegakkan terus, sedangkan realitas masyarakat yang ada terbukti heterogen secara kultural dan religius. Oleh karena itu, inklusivitas menjadi penting sebagai jalan menuju tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan spiritual dan moral. Realitas pluralitas yang bisa mendorong ke arah kerja sama dan keterbukaan itu, secara jelas telah diserukan oleh Allah Swt dalam surat Al-Hujurat ayat 14. Dalam ayat itu, tercermin bahwa pluralitas adalah sebuah kebijakan Tuhan agar manusia saling mengenal dan membuka diri untuk bekerja sama.
(5)   Pengawasan Sosial
Pengawasan sosial sangat urgen terutama ketika kekuatan baik diselewengkan dengn kekuatan uang ataupun kekuasaan. Pengawasan ini merupakan suatu keharusan dalam usaha pembentukan masyarakat madani.  Pengawasan tersebut harus didasarkan atas prinsip fitrah manusia baik, sehingga senantiasa bersikap husnu al-dzan. Pengawasan sosial harus berdiri atas dasar asas-asas tidak bersalah sebelum terbukti salah. Allah SWT berfirman dalam surat Al-‘Araf (7) ayat 172:
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Rabbmu. Mereka menjawab: Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb). (QS. 7:172)”
Selain itu, Allah SWT menegaskan dalam surat Al-Rum (30) ayat 30 sebagai berikut:
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (QS. 30:30)”
Berdasarkan kedua ayat tersebut, nampaklah bahwa manusia secara fitrah adalah suci dan baik, sehingga kejahatan yang dilakukan bukanlah karena inheren di dalam dirinya akan tetapi lebih disebabkan faktor-faktor luar yang mempengaruhinya. Oleh sebab itulah, agar manusia dan masyarakat tetap berada dalam kebaikan sebagaimana fitrahnya diperlukan adanya pengawasan sosial.
Lebih dari itu, secara rinci masyarakat madani sebagai masyarakat yang ideal itu memiliki karakteristik sebagai berikut:
1)      Bertuhan;
2)      Damai;
3)      Tolong-menolong;
4)      Toleran;
5)      Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial;
6)      Berperadaban tinggi;
7)      Berakhlak mulia.


B.     Peranan Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Dalam konteks masyarakat Indonesia, dimana umat Islam adalah mayoritas, peranan umat Islam untuk mewujudkan masyarakat madani sangat menentukan. Kondisi masyarakat Indonesia sangat bergantung pada konstribusi yang diberikan oleh umat Islam. Peranan umat Islam itu dapat direalisasikan melalui jalur hukum, sosial-politik, ekonomi, dan yang lain. Sistem hukum, sosial-politik, ekonomi dan yang lain di Indonesia, memberikan ruang untuk menyalurkan aspirasinya secara konstruktif bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Permasalahan pokok yang masih menjadi kendala saat ini adalah kemampuan dan konsistensi umat Islam Indonesia terhadap karakter dasarnya untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui jalur-jalur yang ada. Sekalipun umat Islam secara kuantitatif mayoritas tetapi secara kualitatif masih rendah sehingga perlu pemberdayaan secara sistematis.
Sikap amar ma’ruf nahi munkar juga masih sangat lemah. Hal itu dapat dilihat dari fenomena-fenomena sosial yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti angka kriminalitas yang tinggi, korupsi yang terjadi disemua sektor, kurangnya rasa aman dan lain sebagainya. Bila umat Islam Indonesia benar-benar mencerminkan sikap hidup yang islami, pasti bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar