BAB VII
MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMAT
A. Konsep Masyarakat Madani
Masyarakat
madani atau civil society secara umum bisa diartikan sebagai suatu
masyarakat atau institusi sosial yang memiliki ciri-ciri antara lain:
kemandirian, toleransi, keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain, dan
menjunjung tinggi norma dan etika yang disepakati secara bersama-sama (Din
Syamsudin, 1998 : 12). Sebenarnya masyarakat madani secara substansial sudah
ada sejak zaman Aristoteles, yakni suatu masyarakat yang dipimpin dan tunduk
pada hukum. Penguasa, rakyat dan siapapun harus taat dan patuh pada hukum yang
telah dibuat secara bersama-sama. Bagi Aristoteles, siapapun bisa memimpin
negara secara bergiliran dengan syarat ia bisa berbuat adil. Dan keadilan baru
bisa ditegakkan apabila setiap tindakan didasarkan pada hukum. Jadi hukum merupakan
ikatan moral yang bisa membimbing manusia agar senantiasa berbuat adil.
Dalam
mendefinisikan terma masyarakat madani ini sangat tergantung pada kondisi
sosio-kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani
merupakan bangunan terma yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat.
Sebagai titik tolak, disini akan dikemukakan beberapa definisi masyarakat dari
berbagai pakar di berbagai negara yang menganalisa dan mengkaji fenomena masyarakat
madani ini:
1) Menurut Zbigniew Rau, masyarakat madani
merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang
dimana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama
lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Ruang ini timbul di antara
hubungan-hubungan yang merupakan hasil komitmen keluarga dan hubungan-hubungan
yang menyangkut kewajiban mereka terhadap negara. Lebih tegasnya terdapat ruang
hidup dalam kehidupan sehari-hari serta memberikan integritas sistem nilai yang
harus ada dalam masyarakat madani, yakni individualisme, pasar dan pluralisme.
2) Menurut Han Sung-joo, masyarakat madani
merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu,
perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang publik yang mampu
mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu
mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui
norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk
serta pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalamnya.
3) Menurut Kim Sunhyuk, masyarakat madani
adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun
dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relatif otonom dari
negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari reproduksi dan masyarakat
politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam ruang publik, guna
menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka
menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.
Dari berbagai
batasan di atas, jelas merupakan suatu analisa dari kajian kontekstual terhadap
performa yang diinginkan dalam mewujudkan masyarakat madani. Hal tersebut dapat
dilihat dari perbedaan penekanan dalam mensyaratkan idealisme masyarakat madani.
Akan tetapi secara global dari ketiga batasan di atas dapat ditarik benang
emas, bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau
tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan negara,
memiliki ruang publik dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang
mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.
Masyarakat madani
identik dengan cita-cita Islam membangun ummah. Masyarakat madani adalah suatu
ruang (realm) partisipasi masyarakat melalui perkumpulan-perkumpulan sukarela
(voluntary association) melalui organisasi-organisasi massa. Masyarakat
madani dan negara bergantung mana yang dianggap primer dan mana yang sekunder.
Sepertinya menurut pendapat tersebut, hak berserikat merupakan prinsip dalam
kehidupan bermasyarakat. Kelompok-kelompok masyarakat tercipta tiada lain untuk
terjadi integrasi dalam membangun manyarakat yang berperadaban.
Sementara itu
secara filosofis Yusuf (1998) memandang masyarakat madani membangun kehidupan
masyarakat beradab yang ditegakkan di atas akhlakul karimah, masyarakat
yang adil, terbuka dan demokratis dengan landasan ketaqwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, Allah SWT. Kualitas manusia bertaqwa secara essensial adalah manusia
yang memelihara hubungan dengan Allah SWT (habl min Allah) dan hubungannya
dengan sesama manusia (habl min al-nas). Akhlakul karimah dapat
terwujud manakala masing-masing individu dan kelompok masyarakat terjadi saling
membelajarkan atau berperan sebagai pembawa kearah kebenaran yang digariskan
oleh Allah. Karena Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum manakala mereka
tidak berbuat ke arah perbaikan yang dikehendakinya.
Dari paparan
di atas, dapat ditangkap makna utama dari masyarakat madani adalah masyarakat
yang menjadikan nilai-nilai peradaban sebagai ciri utama. Karena itu dalam
sejarah pemikiran filsafat, sejak filsafat yunani sampai masa filsafat Islam
juga dikenal istilah madinah atau polis, yang berarti kota, yaitu
masyarakat yang maju dan berperadaban. Masyarakat madani menjadi simbol
idealisme yang diharapkan oleh masyarakat.
Di dalam Al-Qur’an,
Allah SWT memberikan ilustrasi masyarakat ideal, sebagai gambaran dari
masyarakat madani dengan firman-Nya dalam surat Saba’ (34) ayat 15, yang penggalan
artinya: “...................(negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah
Tuhan Yang Maha Pengampun. Berikut adalah dalilnya:

Artinya:
“Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Rabb) di tempat kediaman
mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.(kepada mereka
dikatakan): Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Rabb-mu dan
bersyukurlah kamu kepada-Nya.(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabb-mu)
adalah Rabb Yang Maha Pengampun. (QS. 34:15)”
Lebih dari
itu, perlu diketahui karakteristik ataupun prinsip-prinsip yang merupakan
prasyarat untuk merealisasikan wacana masyarakat madani tidak bisa dipisahkan
satu sama lain, dan merupakan satu kesatuan yang terintegral dan menjadi dasar
serta nilai bagi masyarakat. Adapun karakteristiknya, menurut Dr. Ali
Nurdin, antara lain:
(1) Keadilan
Keadilan
merupakan sunnatullah atau hukum alam yang merupakan perintah untuk
ditegakkan. Keadilan merupakan sunnatullah dimana Allah menciptakan alam
semesta dengan prinsip keadilan dan keseimbangan. Dalam Al-Qur’an disebutkan
keadilan sebagai hukum keseimbangan yang menjadi hukum jagad raya.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (QS. 5 : 8)”
(2) Supremasi Hukum

Artinya: “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. (QS. 4: 58)”
Rasulullah
menyatakan dengan tegas bahwa hancurnya bangsa-bangsa terdahulu karena hukum
tidak ditegakkan secara benar. Berikut adalah hadis yang menyebutkan betapa
pentingnya supremasi hukum untuk ditegakkan:
§ "Sesungguhnya telah binasa
orang-orang yang sebelum kamu yaitu sekiranya yang mencuri itu yang berpangkat
tinggi, lalu mereka dibiarkan saja. Tetapi jika yang mencuri itu mereka yang
lemah, lalu dengan segera dijatuhkan hukuman ke atasnya. Demi Allah yang aku di
dalam kekuasaan-Nya, kalaulah Fatimah binti Muhammad (anak Nabi SAW yang sangat
dikasihi) mencuri, niscaya kupotong tangannya."
(3) Egaliteranisme (persamaan)
Egalitariasime
artinya adalah persamaan, tidak mengenal sistem dinasti geneologis. Maksudnya
adalah masyarakat madani tidak melihat keutamaan atas dasar keturunan, ras,
etnis dan lain-lain, melainkan atas prestasi. Prinsip ini akan mewujudkan
keterbukaan dimana seluruh anggota masyarakat berpartisipasi dalam ruang publik
baik terkait kebijakan-kebijakan maupun dalam menentukan pemimpin. Dalam bahas
Al-Qur’an manusia dan warga negara dihargai atas dasar ketakwaannya. Allah
menegaskan:

Artinya: “Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. 49:13)”
(4) Pluralisme
Pada dasarnya, pluralisme adalah sebuah pengakuan akan
hukum Tuhan yang menciptakan
manusia yang tidak hanya terdiri dari satu kelompok, suku, warna kulit, dan
agama saja. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar mereka bisa saling
belajar, bergaul, dan membantu antara satu dan lainnya. Pluralisme mengakui
perbedaan-perbedaan itu sebagai sebuah realitas yang pasti ada di mana saja.
Justru, dengan pluralisme itu akan tergali berbagai komitmen bersama untuk
memperjuangkan sesuatu yang melampaui kepentingan kelompok dan agamanya.
Kepentingan itu antara lain adalah perjuangan keadilan, kemanusiaan, pengentasan
kemiskinan, dan kemajuan pendidikan. Maka, pendefinisian pluralisme sebagai
sebuah relativisme adalah sebuah kesalahan yang fatal. Sebab, pluralisme
sendiri mengakui adanya tradisi iman dan keberagamaan yang berbeda antara satu
agama dengan agama lainnya.
Kesadaran pluralisme diwujudkan untuk bersikap toleran
dan saling menghormati tanpa membeda-medakan satu dengan lainnya. Al-Qur’an
menegaskan dalam surat Yunus (10) ayat 99 sebagai berikut:

Artinya: “Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di
muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”
Selanjutnya
Allah berfirman dalam surat ke 6, surat Al-An’aam ayat 108:

Artinya: “Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Rabb mereka kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang
dahulu mereka kerjakan. (QS. 6:108)”
Pengakuan
terhadap pluralisme agama dalam sebuah komunitas sosial menjanjikan
dikedepankannya prinsip inklusivitas (keterbukaan) –suatu prinsip yang
mengutamakan akomodasi dan bukan konflik- di antara mereka. Sebab, pada
dasarnya masing-masing agama mempunyai berbagai klaim kebenaran yang ingin
ditegakkan terus, sedangkan realitas masyarakat yang ada terbukti heterogen
secara kultural dan religius. Oleh karena itu, inklusivitas menjadi penting
sebagai jalan menuju tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang
bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan spiritual dan moral.
Realitas pluralitas yang bisa mendorong ke arah kerja sama dan keterbukaan itu,
secara jelas telah diserukan oleh Allah Swt dalam surat Al-Hujurat ayat 14.
Dalam ayat itu, tercermin bahwa pluralitas adalah sebuah kebijakan Tuhan agar
manusia saling mengenal dan membuka diri untuk bekerja sama.
(5) Pengawasan Sosial
Pengawasan sosial sangat urgen terutama ketika kekuatan baik diselewengkan
dengn kekuatan uang ataupun kekuasaan. Pengawasan ini merupakan suatu keharusan
dalam usaha pembentukan masyarakat madani.
Pengawasan tersebut harus didasarkan atas prinsip fitrah manusia baik,
sehingga senantiasa bersikap husnu al-dzan. Pengawasan sosial harus
berdiri atas dasar asas-asas tidak bersalah sebelum terbukti salah. Allah SWT
berfirman dalam surat Al-‘Araf (7) ayat 172:

Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
Bukankah Aku ini Rabbmu. Mereka menjawab: Betul (Engkau Rabb kami), kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Rabb). (QS. 7:172)”
Selain itu, Allah SWT menegaskan dalam surat Al-Rum (30) ayat 30 sebagai
berikut:

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama
yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (QS. 30:30)”
Berdasarkan
kedua ayat tersebut, nampaklah bahwa manusia secara fitrah adalah suci dan
baik, sehingga kejahatan yang dilakukan bukanlah karena inheren di dalam
dirinya akan tetapi lebih disebabkan faktor-faktor luar yang mempengaruhinya.
Oleh sebab itulah, agar manusia dan masyarakat tetap berada dalam kebaikan
sebagaimana fitrahnya diperlukan adanya pengawasan sosial.
Lebih dari
itu, secara rinci masyarakat madani sebagai masyarakat yang ideal itu memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1) Bertuhan;
2) Damai;
3) Tolong-menolong;
4) Toleran;
5) Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial;
6) Berperadaban tinggi;
7) Berakhlak mulia.
B. Peranan Umat Islam dalam Mewujudkan
Masyarakat Madani
Dalam konteks
masyarakat Indonesia, dimana umat Islam adalah mayoritas, peranan umat Islam
untuk mewujudkan masyarakat madani sangat menentukan. Kondisi masyarakat
Indonesia sangat bergantung pada konstribusi yang diberikan oleh umat Islam.
Peranan umat Islam itu dapat direalisasikan melalui jalur hukum,
sosial-politik, ekonomi, dan yang lain. Sistem hukum, sosial-politik, ekonomi
dan yang lain di Indonesia, memberikan ruang untuk menyalurkan aspirasinya
secara konstruktif bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Permasalahan
pokok yang masih menjadi kendala saat ini adalah kemampuan dan konsistensi umat
Islam Indonesia terhadap karakter dasarnya untuk mengimplementasikan ajaran
Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui jalur-jalur yang ada.
Sekalipun umat Islam secara kuantitatif mayoritas tetapi secara kualitatif
masih rendah sehingga perlu pemberdayaan secara sistematis.
Sikap amar
ma’ruf nahi munkar juga masih sangat lemah. Hal itu dapat dilihat dari
fenomena-fenomena sosial yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti angka
kriminalitas yang tinggi, korupsi yang terjadi disemua sektor, kurangnya rasa
aman dan lain sebagainya. Bila umat Islam Indonesia benar-benar mencerminkan
sikap hidup yang islami, pasti bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan
sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar