BAB V
ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN SENI
DALAM ISLAM
A. Konsep Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK) dan Seni
Ilmu oleh Joseph
Haberer dalam Politicalization in Science, didefinisikan sebagai suatu
aktivitas manusia yang beraneka ragam, bukan hanya sekumpulan pengetahuan atau
teori, tetapi juga suatu metodologi, suatu kegiatan praktek, suatu jaringan
pola-pola kebiasaan dan peranan yang melalui ilmu pengetahuan itu diperoleh,
diuji dan dikembangkan. Sementara itu, menurut Leonard Nash dalam The Nature
of Natural Sciences, ilmu pengetahuan adalah suatu institusi sosial (social
institution), dan juga merupakan prestasi, perseorangan (individual
achievement) disamping itu ilmu merupakan suatu penemuan asli tentang dunia
yang sebenarnya (genuine discovery of the real world).
Adapun dalam International
Webster’s Dictionary, ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan yang sudah
diklarifikasi, diorganisasi, disistimitasi, dan diinterpretasi, menghasilkan
kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya, dan dapat diuji ulang secara
ilmiah.
Denotasi
(cakupan) ilmu menunjukkan entitas yang menunjuk pada suatu cabang ilmu khusus
dalam rumpun ilmu atau pada ilmu dalam pengertian yang umum sebagai suatu
kebulatan yang utuh. Adapun konotasi (ciri penentu) ilmu menegaskan konsepsi
ilmu dalam kegiatan penelitian, metode ilmiah, dan hasil pengetahuan. Dimensi
keluasan ilrnu mengandung perluasan makna terhadap pengertian ilmu sehingga
meliputi permasalahan yang penting, kedudukan tertentu atau sifat tambahan yang
melekat pada fenomena yang disebutkan itu.
Definisi yang
menunjukkan ciri ilmu sebagai aktivitas, mengenai hal ini Ernan Mc Mullin
merumuskan makna ilmu pengetahuan (science) sebagai :
·
Kumpulan
aktivitas ilmuwan dalam mengejar tujuannya pada pengamatan ilmiah dan
pemahaman.
·
Semua
kegiatan yang secara nyata dilakukan oleh para ilmuwan yang berpengaruh pada
hasil ilmu pengetahuan dalam bentuk suatu cara (Historical and Philosophical
Perspectives of Sciences, 1970).
Ilmu tidak
hanya berupa satu aktivitas saja, tetapi suatu rangkaian aktivitas sehingga
merupakan suatu proses. Rangkaian aktivitas itu bersifat intelektual, kognitif
dan mengarah pada tujuan tertentu.
Tujuan-tujuan
yang ingin dicapai atau dilaksanakan itu dapat diperinci dalam urutan sebagai
berikut :
§ kebenaran (truth)
§ pengetahuan (knowledge)
§ pemahaman (understanding,
comprehension, insight)
§ penjelasan (explanation)
§ peramalan (prediction)
§ pengendalian (control)
§ penerapan (application, invention,
production)
Sejak zaman
Yunani kuno, misalnya oleh Aristoteles, telah diadakan pembagian ilmu menjadi :
Ilmu teoritis (theoretical science), dan Ilmu praktis (practical
science).
Sementara itu, dalam pandangan Islam, dengan mengikuti
al-Ghazali, dikenal ada dua sumber ilmu, yaitu sumber insaniyah dan sumber rabbaniah.[1] Sumber insaniyah merupakan ilmu
pengetahuan yang dapat diusahakan oleh manusia dengan jalan ta’allum dan
tafakkur. Itupun masih harus mendapatkan verifikasi dari petunjuk
Al-Qur’an dan as-sunnah. Sedang sumber rabbaniah adalah sumber ilmu yang
merupakan anugrah pemberian dari Tuhan, baik dengan jalan wahyu maupun ilham.
Menurut al-Ghazali, ilmu yang diperoleh melalui wahyu hanya diturunkan kepada
para Nabi karena mereka memiliki aqal kully (akal universal),
sementara ilmu yang datang melalui ilham dan masuk melalui hati manusia disebut
ilmu laduni.[2] Maka dalam pandangan Islam, sesuatu itu
bisa disebut ilmu, baik merupakan hasil cerapan indra, refleksi akal, petunjuk
wahyu (nash), maupun pemberian langsung melalui ilham.
Kata ilmu
dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini digunakan
dalam arti proses pencapaina pengetahuan dan obyek pengetahuan (Quraish Shihab:
434). Lebih jauh, setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian.
Oleh karena itu seseorang yang memperdalam ilmu-ilmu tertentu disebut sebagai
spesialis. Dari sudut pandang filsafat, ilmu lebih khusus dibandingkan dengan
pengetahuan.
Adapun
defenisi teknologi, istilahnya berasal dari perkataan Yunani technologia
yang artinya pembahasan sistematik tentang seluruh seni dan kerajinan (systematic
treatment of the arts and crafts). Perkataan tersebut mempunyai akar kata techne
dan logos (perkataan, pembicaraan). Akar kata techne dan telah
dikenal pada zaman Yunani Kuno berarti seni (art), kerajinan (craft).
Art atau seni pada permulaannya berarti sesuatu yang dibuat oleh manusia
untuk dilawankan dengan kata benda alam, tetapi kemudian menunjuk pada
ketrampilan (skill) dalam membuat barang itu.
Techne semula merupakan seni yang bersangkut
paut dengan tukang kayu, yaitu seseorang yang membuat barang-barang dari
material kayu. Dengan demikian, kata itu mengandung arti pakerjaan tukang. Dari
techne kemudian lahirlah perkataan technikos yang berarti
seseorang yang memiliki suatu ketrampilan tertentu. Dengan berkembangnya ketrampilan
seseorang yang menjadi semakin mantap karena menunjukkan pola, langkah atau
urutan yang pasti, ketrampilan itu lalu menjadi teknik (technique).
Teknik sejak dahulu kala sudah dibedakan dari cara-cara manusia melakukan
perbuatan yang lainnya, karena bersifat purposive, rational step -by
step way of doing things (cara melakukan berbagai hal secara terarah
rasional, langkah demi langkah). Selanjutnya teknik tidak lagi terbatas pada
kerajinan tukang kayu saja, melainkan meluas ruang lingkupnya sehingga menyangkut
semua hasil pekerjaan tangan sampai meliputi seluruh ketrampilan praktis (practical
arts) dari perkayuan hingga pertanian, persenjataan hingga kendaraan,
pengolahan material hingga pembuatan bangunan, dan terakhir sampai produksi
barang-barang pabrik.
Perkataan technologia
sesuai dengan kedua akar katanya berarti pembicaraan atau ulasan mengenai
berbagai seni dan kerajinan. Ketika dalam abad XVII, lahir perkataan Inggris, technology,
arti semula itu masih dipakai, yaitu technology berarti a discussion
of the applied arts (suatu pembahasan tentang seni terapan). Bahkan sampai
awal abad berikutnya pengertian itu masih dianut misalnya pada buku yang
berjudul “Technology, A Description of Arts especially, the Mechanicaf” dari
tahun 1706. Baru kemudian secara berangsur- angsur mulai abad XVII technology
tidak lagi semata-mata berarti suatu pembahasan sistematik, pembicaraan atau perbincangan
mengenai the practical arts, melainkan berarti keterampilan praktis itu
sendiri. Oleh karena the practical arts itu meliputi aneka ragam benda, cara,
kemahiran, prosedur sampai teknik, maka pengertian technology mengalami
perluasan dalam denotasi maupun konotasinya. Dalam kepustakaan sampai abad XIX
orang berbicara tentang teknologi sebagai studi tentang ketrampilan praktis
atau sebagai segenap practical arts sebagai kebulatan. Pada permulaan
abad XX ini istilah teknologi telah dipakai secara umum dan merangkum suatu rangkaian
sarana, proses, dan ide di samping alat-alat dan mesin-mesin.
Perluasan arti
itu berjalan terus sehingga sampai pertengahan abad ini muncul perumusan
teknologi sebagai “the means or activity by which man seeks to change or
manipulate his environment” (sarana atau aktivitas yang dipergunakan manusia
untuk berusaha mengubah atau menangani lingkungannya). Ini merupakan suatu
pengertiaan yang amat luas karena setiap sarana perlengkapan atau ikhtisar
kegiatan manusia untuk menguasai lingkungannya yang alamiah maupun kultural
tergolong sebagai teknologi.
Dewasa ini
teknologi sebagai suatu kebulatan sudah merupakan hal yang kompleks, sehingga
tidak mengherankan bila dijumpai berbagai jenis definisi mengenai pengertian
teknologi. Istilah teknologi itu sendiri mengalami perubahan arti sesuai dengan
konteks pemakaiannya. Adapun salah satu defenisi teknologi adalah sebagai
berikut :
·
For
an appreciation of its social significance, however, technology should be
defined, in its broadest and deepest terms, as the human employment of any
aid-physical or intellektual-in generating structures, products, or service
that can increase man's productivity through better understanding, adaptation
to and control of, his environment. (Lioyd V.Berkner & Melwin Kranzberg, "Industry and Technology : Introduction",
1969).
·
Artinya:
(Untuk menilai keseluruhan makna kemasyarakatannya, teknologi harus
didefinisikan, dalam istilah-istilah yang terluas dan terdalam, sebagai usaha
manusia dalam mempergunakan segala bantuan fisik atau intelektual dalam menimbulkan
struktur-struktur, produk-produk, atau jasa-jasa yang dapat memperbesar produktivitas
manusia melalui pemahaman yang lebih baik, adaptasi dan kontrol, terhadap lingkungannya).
Dari paparan
terkait dengan teknologi di atas, secara umum dapat diartikan teknologi
merupakan salah satu budaya sebagai hasil penerapan praktis dari ilmu
pengetahuan. Hal ini sesuai dengan defenisi teknologi dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang mengartikan teknologi sebagai kemampuan teknik yang
berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta dan berdasarkan proses teknis. Lebih dari
itu, teknologi bersifat netral, artinya bahwa teknologi dapat digunakan untuk
kemanfaatan sebesar-besarnya atau bisa juga digunakan untuk kehancuran manusia
itu sendiri.
Terkait
dengan hal di atas, maka Al-Qur’an berdasarkan surat Ali-Imran (3) ayat 190-191
menekankan manusia agar dalam penggunaan teknologi tidak melalaikan seseorang
dari zikir dan tafakur serta tidak mengantarkannya kepada keruntuhan
nilai-nilai kemanusiaan.
Terakhir,
mengenai seni atau kesenian, harus dipahami bahwa seni termasuk bagian dari
budaya manusia, sebagai hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala
prosesnya. Seni merupakan hasil ekspresi jiwa yang berkembang menjadi bagian
budaya manusia. Seni merupakan keindahan. Seni merupakan ekspresi ruh dan
budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan.
Adapun
terkait dengan seni budaya asing, Islam menegaskan bahwa ia dapat menerima
semua hasil karya manusia selama sejalan dengan pandangan Islam menyangkut
wujud alam raya ini. Dalam konteks ini perlu digaris bawahi bahwa Al-Qur’an
memerintahkan kaum muslimin untuk menegakkan kebajikan, memerintahkan perbuatan
ma’ruf dan mencegah perbuatan yang mungkar.
B. Integrasi Iman, Ilmu, Teknologi dan Seni
Islam
merupakan ajaran agama yang sempurna yang terlihat dari keutuhan ajarannya. Ada
tiga inti ajaran Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
Ketiganya terintegrasi dalam sebuah sistem ajaran yang tidak dapat dipisahkan
yang disebut Dinul Islam.
Iman
merupakan keyakinan vertikal terhadap sang pencipta. Secara bahasa iman adalah
membenarkan dalam hati dengan mengandung ilmu bagi orang yang membenarkan itu.
Adapun pengertian iman secara syari’at adalah membenarkan dan mengetahui adanya
Allah dan sifat-sifat-Nya disertai melaksanakan segala yang diwajibkannya dan
disunnahkan serta menjauhi segala larangan dan kemaksiatan. Hal ini seperti
yang ditegaskan dalam sebuah hadis :
الإِيمَانَ: مَعْرِفَةُ بِالْقَلْبِ, وَإِقْرَارُ
بِالْلِسَانِ, وَعَمَلُّ بِالْأَرْكَانِ
Artinya: “Iman adalah mengetahui dengan hati dan
mengucapkan dengan lisan serta melakukan dengan perbuatan dengan anggota
tubuh”.
Telah
digambarkan oleh Allah SWT di dalam surat
Ibrahim (14) ayat 24 dan 25, bahwa Dinul Islam itu bagaikan sebuah pohon
rindang yang berakar kokoh menghujam ke dalam bumi, cabangnya menjulang tinggi ke langit,
dahannya yang rindang dapat menaungi setiap yang berlalu-lalang dan senantiasa
berbuah yang dapat dinikmati oleh setiap orang. Iman diidentikkan dengan akar yang
menopang tegaknya Dinul Islam, Ilmu bagaikan batang dan dahan yang selalu
mengeluarkan cabang-cabang Ipteks yang baru. Sedangkan amal ibarat buah yang
sangat bermanfaat. Maka apabila Ipteks dikembangkan di atas nilai-nilai iman
dan takwa kepada Allah SWT, pasti akan menghasilkan amal kebaikan yang
berlimpah manfaat, bukannya kerusakan dan kehancuran alam dan peradaban umat
manusia.
Berikut
adalah bunyi ayat-ayat tersebut:


Artinya:
“Tidakkah kamu kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya
(menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan
seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia
supaya mereka selalu ingat. (QS. 14:24-25)”
C. Keutamaan Orang yang Berilmu
Orang yang
berilmu mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah dan masyarakat.
Al-Qur’an menggelari golongan ini dengan berbagai gelaran mulia dan terhormat
yang menggambarkan kemuliaan dan ketinggian kedudukan mereka di sisi Allah SWT
dan makhluk-Nya.
Mereka
digelari sebagai "al-Raasikhun fil Ilm" (Al Imran : 7), "Ulul
al-Ilmi" (Al Imran : 18), "Ulul al-Bab" (Al Imran : 190),
"al-Basir" dan "as-Sami' " (Hud : 24),
"al-A'limun" (al-A'nkabut : 43), "al-Ulama" (Fatir : 28),
"al-Ahya' " (Fatir : 35) dan berbagai nama baik dan gelaran mulia
lain.
Daya usaha
untuk memperoleh ilmu melalui berbagai sumber dan panca indera yang
dikaruniakan Allah SWT membimbing seseorang ke arah mengenal dan mengakui
ketauhidan Allah SWT. Ini memberi satu isyarat dan petunjuk yang penting bahwa
ilmu mempunyai keterkaitan yang amat erat dengan dasar akidah tauhid. Orang
yang memiliki ilmu sepatutnya mengenal dan mengakui keesaan Allah SWT dan
keagungan-Nya. Hasilnya, orang yang berilmu akan tunduk, kerdil dan hina
berhadapan dengan kekuasaan dan keagungan Allah SWT .
Dalam surat Ali
Imran (3) ayat ke-18, Allah SWT berfirman:

Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Ilah
(yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat
dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Ilah
(yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. 3:18).”
Ketika
menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir membuat suatu rumusan yang menarik bahwa
apabila Allah SWT menyandingkan "diri-Nya" dengan para malaikat dan
orang yang berilmu tentang penyaksian "keesaan Allah SWT dan kemutlakkan-Nya
sebagai Tuhan yang layak disembah", hal tersebut adalah suatu penghormatan
agung secara khusus kepada orang-orang yang berilmu yang sentiasa bergerak di atas
rel kebenaran dan menjunjung tinggi prinsip ini serta berpegang teguh dengannya
dalam semua keadaan dan suasana.
Rekaman
penghormatan ini kekal sebagaimana kekalnya kitab wahyu ini sebagai peringatan
kepada golongan berilmu bahwa mereka amat istimewa di sisi Allah SWT. Mereka
diangkat sejajar dengan para malaikat yang menjadi saksi Keesaan Allah SWT.
Mereka memikul amanah Allah SWT karena mereka adalah pewaris para nabi.
Sifat ikhlas,
berani, dan tegas serta sentiasa istiqamah akan selalu ada dalam diri orang
yang berilmu. Mereka tidak mengharapkan ganjaran, sanjungan, dan pujian dari
manusia. Keikhlasan mereka adalah hasil daripada ramuan kecintaan dan keyakinan
kepada prinsip kebenaran yang menjadi tonggak pegangan mereka.
Orang yang
berilmu amat menjunjung tinggi prinsip kebenaran. Mereka tidak menafikan
kebenaran dari pihak lain dan tidak pula merasa kebenaran hanya mutlak ada pada
dirinya. Berlapang dada dan merendah diri adalah akhlak murni orang yang
berilmu.
Mereka tidak
melihat dari siapa atau dari golongan mana kebenaran tersebut berasal.
Kebenaran sejati yang menjadi pegangan mereka adalah apabila datangnya daripada
nash Al-Qur’an al-Karim dan as-Sunnah an-Nabawiyyah. Sebagaimana
keikhlasan Imam Malik yang mendorongnya mencegah Khalifah al-Mahdi dan
al-Rashid yang akan menjadikan kitab karangannya al-Muwatta' sebagai
undang-undang dasar kerajaan. Sebagaimana juga kerendahan hati Imam al-Syafi'i
yang pernah menyatakan bahwa :"Barang siapa yang mendapati hadis
Rasulullah SAW (yang shahih) yang tidak sesuai dengan pendapatku, maka menjadi
kewajibannya untuk mengikuti nash hadis shahih tersebut dan meninggalkan
pendapatku".
Keberanian
orang yang berilmu adalah hasil keyakinan teguh kepada kekuatan dan kekuasaan
Allah SWT. Firman Allah SWT dalam surat Fatir (35) : 28:

Artinya: "...................Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (Orang-orang
yang berilmu). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."
Orang-orang
yang berilmu memiliki keyakinan bahwa hanya Allah yang Maha Berkuasa atas
sekalian makhluk-Nya. Kehinaan di sisi manusia karena mempertahankan prinsip
kebenaran dipandang lebih baik dan mulia daripada kehinaan di sisi Allah SWT,
karena menampik kebenaran hanya untuk menarik perhatian dan mendapatkan pujian
manusia. Mereka amat yakin bahwa menyatakan kebenaran dan perkara hak adalah
amanah Allah SWT dan mereka pun mengetahui resikonya amat besar.
Peringatan
Allah dan Rasul-Nya sangat keras terhadap kalangan yang menyembunyikan
kebenaran/ilmu, sebagaimana firman-Nya:

Artinya: "Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula
oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati." (al-Baqarah: 159)
Lebih jauh, Rasulullah
SAW bersabda:
§ "Janganlah sekali-kali wibawa manusia
sampai menghalangi seseorang untuk mengatakan sesuatu yang hak jika ia
mengetahuinya, menyaksikannya, atau mendengarnya. Sebab tindakannya itu tidak
akan mendekatkan ajal dan tidak akan menjauhkannya dari rezeki." (HR
Ahmad)
Rasulullah SAW
juga bersabda:
§ "Barangsiapa yang menyembunyikan
ilmu, akan dikendali mulutnya oleh Allah pada hari kiamat dengan kendali dari
api neraka." (HR Ibnu Hibban di dalam kitab sahih beliau. Juga
diriwayatkan oleh al-Hakim. Al Hakim dan adz-Dzahabi berpendapat bahwa hadis
ini sahih)
Orang yang
berilmu mengetahui bagaimana kerusakan yang akan timbul dari amal yang tanpa
ilmu, sebagaimana yang dikatakan khalifah Umar bin Abdul Aziz "Barangsiapa
yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka dia banyak merusak daripada
memperbaiki"
Adapun yang
menjadi panutan orang-orang berilmu adalah Rasulullah SAW dan para sahabat
beliau yang mulia. Karena hanya dengan mengikuti jalan Rasulullah dan para
sahabatlah yang akan memasukkan seorang muslim kedalam golongan yang selamat.
Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:
§ "Semua golongan tersebut tempatnya di
neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku meniti
diatasnya"(HR Tirmidzi)
Imam Bukhari
dalam kitabnya "Berpegang Teguh pada Kitab dan Sunnah" memberi judul
salah satu dari sekian bab (yang artinya):
§ "Nabi SAW mengajarkan kepada
umat-nya, baik laki-laki maupun wanita, apa yang diajarkan Allah kepadanya
tanpa menggunakan pendapat atau pemisalan."
Al-Muhallab
berkata ketika mengomentari bab Bukhari ini: "Maksud Bukhari bahwa seorang
yang berilmu apabila dia berbicara dengan menggunakan nash, tidak perlu lagi
berbicara berdasarkan pendapat dan qiyasnya (analogi)."
Dalam surat
al-Taubah (9) ayat 122, Allah berfirman:

Artinya:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan ke pada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.”
Dari ayat di
atas, dapat dipetik bahwasanya menuntut ilmu pengetahuan adalah suatu perintah
(amar) sehingga dapat dikatakan suatu kewajiban. Yang di maksud ilmu
pengetahuan diisi adalah ilmu agama. Akan tetapi harus kita sadari bahwa agama
adalah merupakan pedoman bagi kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga ilmu yang
tersimpul dalam agama tidak semata yang menjurus kepada urusan ukhrawi, tetapi
juga ilmu yang mengarah kepada duniawi. Dengan ungkapan lain, Allah mewajibkan
kepada hamba-Nya untuk menuntut ilmu pengetahuan tentang urusan keduniaan
sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, yakni untuk kebahagiaan
dan kemaslahatan.
Dalam surat
Al-Mujaadillah (58) ayat 11, Allah SWT telah menegaskan bahwa Dia akan
mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan lebih
tinggi beberapa derajat dari manusia lainnya.

Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: Berlapang-lapanglah dalam
majlis, lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(QS. 58:11)”
Al-Ghazali
dalam kitab Ihya Ulumuddin juz I hal 49 menyebutkan: “Barangsiapa yang
berilmu, dia dapat membimbing manusia dan memanfaatkan ilmunya bagi orang lain,
dia bagaikan matahari yang menerangi dirinya dan orang lain, dia bagaikan
minyak kesturi yang harum dan menyebarkan semerbak keharumannya kepada setiap
orang yang berpapasan dengannya.”
D. Tanggung Jawab Ilmuan terhadap Lingkungan
Allah telah
menciptakan manusia ke dunia ini dengan dua tugas utama, yaitu sebagai hamba
dan wakil Tuhan dalam mengelola bumi. Esensi dari hamba adalah ketaatan,
kepatuhan dan ketundukan terhadap segala perintah dan aturan-aturan hukum-Nya
yang berisi kebenaran hakiki dan absolut serta keadilan yang sesungguhnya.
Al-Qur’an
dalam surat Hud (11) ayat 61, menyebutkan bahwa tanggung jawab manusia termasuk
ilmuan adalah sebagai pemakmur bumi bukan sebagai pengrusaknya, lebih jelas
dalam ayat berikut ini:

Artinya: “Dan
kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Ilah selain Dia. Dia telah
menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan pemakmurnya, karena itu
mohonlah ampunan-Nya kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku amat
dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya). (QS. 11:61)”
Adapun
sebagai wakil Tuhan di muka bumi, manusia memiliki tanggungjawab yang besar
untuk menjaga kelestarian, keseimbangan alam lingkungan tempat tinggalnya.
Manusia diberikan kebebasan untuk menggali dan memanfaatkan sumber daya alam
yang ada untuk kemaslahatan, kebaikan, ketentraman dan kemakmurannya. Untuk
dapat melakukan semua itu manusia memerlukan keseimbangan IMTAK dan IPTEK.
E. Penerapan Ilmu Pengetahuan (Sains) dalam Peribadatan Islam
Hubungan antara ilmu pengetahuan (sains) dan agama
seharusnya merupakan hubungan kerjasama. Agama akan menjadi takhyul jika tidak
menerima penelitian dan penyelidikan yang diungkapkan oleh sains. Adapun sains
akan berupa pengetahuan yang dangkal bahkan berbahaya jika tidak diikuti oleh
perhatian terhadap moral keagamaan. Lebih dari itu, sains membantu umat manusia
untuk mempercayai eksistensi tuhan dengan kekuasaan dan pengetahuan-Nya, yang
terwakilkan dalam alam semesta. Sains sangat diperlukan untuk melaksanakan
perintah-perintah Allah dalam peribadatan. Perintah menghadap kiblat (ke arah
Masjidil Haram) di Mekah bila melakukan shalat sangat memerlukan sains dalam
penetapannya. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 150:
وَ
مِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ سَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ......
Artinya: “Dan
dari mana saja kamu (keluar),
maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.................” (QS al-Baqarah (2): 150).
Dengan ilmu
astronomi (ilmu falak) dan dibantu dengan matematika, terutama trigonometri
bola, arah kiblat dapat dihitung untuk semua tempat di permukaan bumi ini. Biasanya
rumus yang dipakai untuk menghitung arah kiblat adalah Cotan B = sin a
cotan b: sin C - cos a cotan C.
Sejarah
perkembangan penetapan arah kiblat selama ini sangat erat kaitannya dengan
sains. Penggunaan produk sains seperti kompas, Theodolit dan GPS (Global Positioning System) adalah bukti dari penerapan sains
dalam peribadatan umat Islam. Hanya saja untuk akurasi (ketelitian) ketiga alat
tersebut dalam penetapan arah kiblat belum begitu baik. Akurasi yang baik untuk
pengukuran arah kiblat adalah
dengan Posisi Matahari. Metode ini berdasarkan perkembangan teknologi dan
astronomy, posisi Matahari dapat dihitung dengan ketelitian 0.01 detik busur (0.01”).
Jika dibandingkan dengan metode yang
lain, akurasi metode ini jauh lebih teliti. Perhitungan posisi Matahari dengan
ketelitian tinggi dapat dilakukan dengan teori VSOP87 (Variations Séculaires
des Orbites Planétaires), yang awalnya dipublikasikan oleh P.Bretagnon
of the Bureau des Longitudes of Paris dengan nama VSOP82, kemudian
diperbarui pada 1987 menjadi VSOP87. Oleh karena itu, arah kiblat dapat
ditentukan berdasarkan posisi Matahari. Banyak cara mengukur arah kiblat
berdasarkan posisi Matahari, antara lain: saat matahari berada di atas ka’bah
(Mekah), saat matahari berada di jalur kiblat, bayang-bayang matahari saat
waktu tertentu, dan lain-lain.
Pada
saat-saat tertentu pergerakan musiman matahari akan menyebabkan pada suatu
ketika posisi matahari berada tepat di atas ka’bah di kota Mekah. Selama
setahun terjadi dua kali peristiwa istiwa utama matahari tepat di atas Ka’bah
atau yang disebut dengan Istiwa A’zam atau Zawal atau Rasdhul
Qiblah (rashdul kiblat). Fenomena istiwa utama terjadi akibat gerakan semu
matahari yang disebut gerak tahunan matahari (musim) sebab selama bumi beredar
mengelilingi matahari sumbu bumi miring 66,5˚ terhadap bidang edarnya sehingga
selama setahun terlihat di bumi matahari mengalami pergeseran 23,5˚ Lintang Utara
sampai 23,5˚ Lintang Selatan. Istiwa A'zam di Mekah terjadi dua kali
dalam setahun yaitu pada tanggal 28 Mei sekitar pukul 12.18 Waktu Mekah (bertepatan
dengan jam 16:18 WIB) dan 16 Juli sekitar pukul 12.27 Waktu Mekah (bertepatan
dengan jam 16:27 WIB).
Teknik
penentuan arah kiblat menggunakan Istiwa Utama (rashdul kiblat) yang
ketelitiannya tinggi ini sangat disarankan oleh para ahli Ilmu Falak, apalagi
caranya tidak sulit dan tidak banyak biaya. Berikut adalah tekniknya: pertama,
tentukan lokasi masjid/mushalla/langgar atau rumah yang akan diluruskan arah
kiblatnya. Kedua, sediakan tongkat lurus sepanjang 1 sampai 2 meter dan
peralatan untuk memasangnya. Siapkan juga jam/arloji yang sudah dikalibrasi
waktunya secara tepat dengan radio (RRI)/televisi (TVRI)/internet. Berikutnya,
cari lokasi di samping Selatan atau di halaman masjid yang masih mendapatkan
penyinaran matahari pada jam-jam tersebut serta memiliki permukaan tanah yang
datar dan pasang tongkat secara tegak lurus dengan bantuan pelurus berupa tali dan bandul
atau waterpass. Persiapan jangan terlalu mendekati waktu
terjadinya istiwa utama agar tidak terburu-buru. Tunggu sampai saat istiwa
utama terjadi amatilah bayangan matahari yang terjadi (toleransi +/- 2 menit). Di
Indonesia peristiwa Istiwa Utama terjadi pada sore hari sehingga arah bayangan
menuju ke Timur. Sedangkan bayangan yang menuju ke arah Barat agak serong ke
Utara merupakan arah kiblat yang tepat. Selanjutnya, gunakan tali, susunan
tegel lantai, atau pantulan sinar matahari menggunakan cermin untuk meluruskan
lokasi ini ke dalam masjid / rumah dengan menyejajarkannya terhadap arah
bayangan. Tidak hanya tongkat yang dapat digunakan untuk melihat bayangan.
Menara, sisi selatan bangunan masjid, tiang listrik, tiang bendera atau
benda-benda lain yang tegak lurus. Atau dengan teknik lain misalnya bandul yang kita gantung menggunakan
tali sepanjang beberapa meter maka bayangannya dapat kita gunakan untuk
menentukan arah kiblat.
Lebih jauh, pembagian
waris menurut ketentuan Al-Quran sangat mudah dilaksanakan dengan matematika
dan oleh para ulama pakar faraid disusunlah matematika yang khusus untuk
keperluan tersebut. Contoh lain dari penerapan sains terhadap peribadatan dalam
Islam adalah penetapan waktu-waktu shalat fardu. Rasulullah SAW dalam hadis
menetapkan waktu-wajtu shalat tersebut berdasarkan peredaran matahari setiap
harinya. Dengan ilmu astronomi (ilmu pengetahuan/sains) penetapan tersebut
menjadi lebih mudah. Misalnya waktu Shubuh dimulai bila tinggi matahari - 17˚,
waktu maghrib dimulai bila tinggi matahari + 17˚. Selain itu, penetapan awal
dan akhir Rhamadhan atau bulan qamariah lainnya juga memerlukan sains dalam
prakteknya.
[1] Lihat
al-Ghazali, “Risalah al-laduniyyah” dalam Qushur al-awwali, yang
dihimpun oleh Musthafa Muhammad Abu Al-’Ala, (Mesir: Muktabah Al-Jundi, 1970), hal.
112.
[2] Menurut
Al-Ghazali, ilmu laduni sebagai ilmu yang terbuka dalam rahasia hati “tanpa
perantara” karena datang langsung dari Tuhan ke dalam jiwa manusia. Lihat Ibid.,
hal. 116.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar