Selasa, 10 Juli 2012

BAB VIII MATERI ILMU PENGETAHUAN



BAB V

ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN SENI DALAM ISLAM

A.    Konsep Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan Seni
Ilmu oleh Joseph Haberer dalam Politicalization in Science, didefinisikan sebagai suatu aktivitas manusia yang beraneka ragam, bukan hanya sekumpulan pengetahuan atau teori, tetapi juga suatu metodologi, suatu kegiatan praktek, suatu jaringan pola-pola kebiasaan dan peranan yang melalui ilmu pengetahuan itu diperoleh, diuji dan dikembangkan. Sementara itu, menurut Leonard Nash dalam The Nature of Natural Sciences, ilmu pengetahuan adalah suatu institusi sosial (social institution), dan juga merupakan prestasi, perseorangan (individual achievement) disamping itu ilmu merupakan suatu penemuan asli tentang dunia yang sebenarnya (genuine discovery of the real world).
Adapun dalam International Webster’s Dictionary, ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan yang sudah diklarifikasi, diorganisasi, disistimitasi, dan diinterpretasi, menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya, dan dapat diuji ulang secara ilmiah.
Denotasi (cakupan) ilmu menunjukkan entitas yang menunjuk pada suatu cabang ilmu khusus dalam rumpun ilmu atau pada ilmu dalam pengertian yang umum sebagai suatu kebulatan yang utuh. Adapun konotasi (ciri penentu) ilmu menegaskan konsepsi ilmu dalam kegiatan penelitian, metode ilmiah, dan hasil pengetahuan. Dimensi keluasan ilrnu mengandung perluasan makna terhadap pengertian ilmu sehingga meliputi permasalahan yang penting, kedudukan tertentu atau sifat tambahan yang melekat pada fenomena yang disebutkan itu.
Definisi yang menunjukkan ciri ilmu sebagai aktivitas, mengenai hal ini Ernan Mc Mullin merumuskan makna ilmu pengetahuan (science) sebagai :
·         Kumpulan aktivitas ilmuwan dalam mengejar tujuannya pada pengamatan ilmiah dan pemahaman.
·         Semua kegiatan yang secara nyata dilakukan oleh para ilmuwan yang berpengaruh pada hasil ilmu pengetahuan dalam bentuk suatu cara (Historical and Philosophical Perspectives of Sciences, 1970).
Ilmu tidak hanya berupa satu aktivitas saja, tetapi suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan suatu proses. Rangkaian aktivitas itu bersifat intelektual, kognitif dan mengarah pada tujuan tertentu.
Tujuan-tujuan yang ingin dicapai atau dilaksanakan itu dapat diperinci dalam urutan sebagai berikut :
§  kebenaran (truth)
§  pengetahuan (knowledge)
§  pemahaman (understanding, comprehension, insight)
§  penjelasan (explanation)
§  peramalan (prediction)
§  pengendalian (control)
§  penerapan (application, invention, production)
Sejak zaman Yunani kuno, misalnya oleh Aristoteles, telah diadakan pembagian ilmu menjadi : Ilmu teoritis (theoretical science), dan Ilmu praktis (practical science).
Sementara itu, dalam pandangan Islam, dengan mengikuti al-Ghazali, dikenal ada dua sumber ilmu, yaitu sumber insaniyah dan sumber rabbaniah.[1] Sumber insaniyah merupakan ilmu pengetahuan yang dapat diusahakan oleh manusia dengan jalan ta’allum dan tafakkur. Itupun masih harus mendapatkan verifikasi dari petunjuk Al-Qur’an dan as-sunnah. Sedang sumber rabbaniah adalah sumber ilmu yang merupakan anugrah pemberian dari Tuhan, baik dengan jalan wahyu maupun ilham. Menurut al-Ghazali, ilmu yang diperoleh melalui wahyu hanya diturunkan kepada para Nabi karena mereka memiliki aqal kully (akal universal), sementara ilmu yang datang melalui ilham dan masuk melalui hati manusia disebut ilmu laduni.[2] Maka dalam pandangan Islam, sesuatu itu bisa disebut ilmu, baik merupakan hasil cerapan indra, refleksi akal, petunjuk wahyu (nash), maupun pemberian langsung melalui ilham.
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaina pengetahuan dan obyek pengetahuan (Quraish Shihab: 434). Lebih jauh, setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian. Oleh karena itu seseorang yang memperdalam ilmu-ilmu tertentu disebut sebagai spesialis. Dari sudut pandang filsafat, ilmu lebih khusus dibandingkan dengan pengetahuan.
Adapun defenisi teknologi, istilahnya berasal dari perkataan Yunani technologia yang artinya pembahasan sistematik tentang seluruh seni dan kerajinan (systematic treatment of the arts and crafts). Perkataan tersebut mempunyai akar kata techne dan logos (perkataan, pembicaraan). Akar kata techne dan telah dikenal pada zaman Yunani Kuno berarti seni (art), kerajinan (craft). Art atau seni pada permulaannya berarti sesuatu yang dibuat oleh manusia untuk dilawankan dengan kata benda alam, tetapi kemudian menunjuk pada ketrampilan (skill) dalam membuat barang itu.
Techne semula merupakan seni yang bersangkut paut dengan tukang kayu, yaitu seseorang yang membuat barang-barang dari material kayu. Dengan demikian, kata itu mengandung arti pakerjaan tukang. Dari techne kemudian lahirlah perkataan technikos yang berarti seseorang yang memiliki suatu ketrampilan tertentu. Dengan berkembangnya ketrampilan seseorang yang menjadi semakin mantap karena menunjukkan pola, langkah atau urutan yang pasti, ketrampilan itu lalu menjadi teknik (technique). Teknik sejak dahulu kala sudah dibedakan dari cara-cara manusia melakukan perbuatan yang lainnya, karena bersifat purposive, rational step -by step way of doing things (cara melakukan berbagai hal secara terarah rasional, langkah demi langkah). Selanjutnya teknik tidak lagi terbatas pada kerajinan tukang kayu saja, melainkan meluas ruang lingkupnya sehingga menyangkut semua hasil pekerjaan tangan sampai meliputi seluruh ketrampilan praktis (practical arts) dari perkayuan hingga pertanian, persenjataan hingga kendaraan, pengolahan material hingga pembuatan bangunan, dan terakhir sampai produksi barang-barang pabrik.
Perkataan technologia sesuai dengan kedua akar katanya berarti pembicaraan atau ulasan mengenai berbagai seni dan kerajinan. Ketika dalam abad XVII, lahir perkataan Inggris, technology, arti semula itu masih dipakai, yaitu technology berarti a discussion of the applied arts (suatu pembahasan tentang seni terapan). Bahkan sampai awal abad berikutnya pengertian itu masih dianut misalnya pada buku yang berjudul “Technology, A Description of Arts especially, the Mechanicaf” dari tahun 1706. Baru kemudian secara berangsur- angsur mulai abad XVII technology tidak lagi semata-mata berarti suatu pembahasan sistematik, pembicaraan atau perbincangan mengenai the practical arts, melainkan berarti keterampilan praktis itu sendiri. Oleh karena the practical arts itu meliputi aneka ragam benda, cara, kemahiran, prosedur sampai teknik, maka pengertian technology mengalami perluasan dalam denotasi maupun konotasinya. Dalam kepustakaan sampai abad XIX orang berbicara tentang teknologi sebagai studi tentang ketrampilan praktis atau sebagai segenap practical arts sebagai kebulatan. Pada permulaan abad XX ini istilah teknologi telah dipakai secara umum dan merangkum suatu rangkaian sarana, proses, dan ide di samping alat-alat dan mesin-mesin.
Perluasan arti itu berjalan terus sehingga sampai pertengahan abad ini muncul perumusan teknologi sebagai “the means or activity by which man seeks to change or manipulate his environment” (sarana atau aktivitas yang dipergunakan manusia untuk berusaha mengubah atau menangani lingkungannya). Ini merupakan suatu pengertiaan yang amat luas karena setiap sarana perlengkapan atau ikhtisar kegiatan manusia untuk menguasai lingkungannya yang alamiah maupun kultural tergolong sebagai teknologi.
Dewasa ini teknologi sebagai suatu kebulatan sudah merupakan hal yang kompleks, sehingga tidak mengherankan bila dijumpai berbagai jenis definisi mengenai pengertian teknologi. Istilah teknologi itu sendiri mengalami perubahan arti sesuai dengan konteks pemakaiannya. Adapun salah satu defenisi teknologi adalah sebagai berikut :
·         For an appreciation of its social significance, however, technology should be defined, in its broadest and deepest terms, as the human employment of any aid-physical or intellektual-in generating structures, products, or service that can increase man's productivity through better understanding, adaptation to and control of, his environment. (Lioyd V.Berkner & Melwin Kranzberg, "Industry and Technology : Introduction", 1969).
·         Artinya: (Untuk menilai keseluruhan makna kemasyarakatannya, teknologi harus didefinisikan, dalam istilah-istilah yang terluas dan terdalam, sebagai usaha manusia dalam mempergunakan segala bantuan fisik atau intelektual dalam menimbulkan struktur-struktur, produk-produk, atau jasa-jasa yang dapat memperbesar produktivitas manusia melalui pemahaman yang lebih baik, adaptasi dan kontrol, terhadap lingkungannya).
Dari paparan terkait dengan teknologi di atas, secara umum dapat diartikan teknologi merupakan salah satu budaya sebagai hasil penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan defenisi teknologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengartikan teknologi sebagai kemampuan teknik yang berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta dan berdasarkan proses teknis. Lebih dari itu, teknologi bersifat netral, artinya bahwa teknologi dapat digunakan untuk kemanfaatan sebesar-besarnya atau bisa juga digunakan untuk kehancuran manusia itu sendiri.
Terkait dengan hal di atas, maka Al-Qur’an berdasarkan surat Ali-Imran (3) ayat 190-191 menekankan manusia agar dalam penggunaan teknologi tidak melalaikan seseorang dari zikir dan tafakur serta tidak mengantarkannya kepada keruntuhan nilai-nilai kemanusiaan.
Terakhir, mengenai seni atau kesenian, harus dipahami bahwa seni termasuk bagian dari budaya manusia, sebagai hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala prosesnya. Seni merupakan hasil ekspresi jiwa yang berkembang menjadi bagian budaya manusia. Seni merupakan keindahan. Seni merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan.
Adapun terkait dengan seni budaya asing, Islam menegaskan bahwa ia dapat menerima semua hasil karya manusia selama sejalan dengan pandangan Islam menyangkut wujud alam raya ini. Dalam konteks ini perlu digaris bawahi bahwa Al-Qur’an memerintahkan kaum muslimin untuk menegakkan kebajikan, memerintahkan perbuatan ma’ruf dan mencegah perbuatan yang mungkar.

B.     Integrasi Iman, Ilmu, Teknologi dan Seni
Islam merupakan ajaran agama yang sempurna yang terlihat dari keutuhan ajarannya. Ada tiga inti ajaran Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Ketiganya terintegrasi dalam sebuah sistem ajaran yang tidak dapat dipisahkan yang disebut Dinul Islam.
Iman merupakan keyakinan vertikal terhadap sang pencipta. Secara bahasa iman adalah membenarkan dalam hati dengan mengandung ilmu bagi orang yang membenarkan itu. Adapun pengertian iman secara syari’at adalah membenarkan dan mengetahui adanya Allah dan sifat-sifat-Nya disertai melaksanakan segala yang diwajibkannya dan disunnahkan serta menjauhi segala larangan dan kemaksiatan. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam sebuah hadis :
الإِيمَانَ: مَعْرِفَةُ بِالْقَلْبِ, وَإِقْرَارُ بِالْلِسَانِ, وَعَمَلُّ بِالْأَرْكَانِ

Artinya: “Iman adalah mengetahui dengan hati dan mengucapkan dengan lisan serta melakukan dengan perbuatan dengan anggota tubuh”.
Telah digambarkan oleh Allah SWT  di dalam surat Ibrahim (14) ayat 24 dan 25, bahwa Dinul Islam itu bagaikan sebuah pohon rindang yang berakar kokoh menghujam ke dalam  bumi, cabangnya menjulang tinggi ke langit, dahannya yang rindang dapat menaungi setiap yang berlalu-lalang dan senantiasa berbuah yang dapat dinikmati oleh setiap orang. Iman diidentikkan dengan akar yang menopang tegaknya Dinul Islam, Ilmu bagaikan batang dan dahan yang selalu mengeluarkan cabang-cabang Ipteks yang baru. Sedangkan amal ibarat buah yang sangat bermanfaat. Maka apabila Ipteks dikembangkan di atas nilai-nilai iman dan takwa kepada Allah SWT, pasti akan menghasilkan amal kebaikan yang berlimpah manfaat, bukannya kerusakan dan kehancuran alam dan peradaban umat manusia.
Berikut adalah bunyi ayat-ayat tersebut:
Artinya: “Tidakkah kamu kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (QS. 14:24-25)”

C.    Keutamaan Orang yang Berilmu
Orang yang berilmu mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah dan masyarakat. Al-Qur’an menggelari golongan ini dengan berbagai gelaran mulia dan terhormat yang menggambarkan kemuliaan dan ketinggian kedudukan mereka di sisi Allah SWT dan makhluk-Nya.
Mereka digelari sebagai "al-Raasikhun fil Ilm" (Al Imran : 7), "Ulul al-Ilmi" (Al Imran : 18), "Ulul al-Bab" (Al Imran : 190), "al-Basir" dan "as-Sami' " (Hud : 24), "al-A'limun" (al-A'nkabut : 43), "al-Ulama" (Fatir : 28), "al-Ahya' " (Fatir : 35) dan berbagai nama baik dan gelaran mulia lain.
Daya usaha untuk memperoleh ilmu melalui berbagai sumber dan panca indera yang dikaruniakan Allah SWT membimbing seseorang ke arah mengenal dan mengakui ketauhidan Allah SWT. Ini memberi satu isyarat dan petunjuk yang penting bahwa ilmu mempunyai keterkaitan yang amat erat dengan dasar akidah tauhid. Orang yang memiliki ilmu sepatutnya mengenal dan mengakui keesaan Allah SWT dan keagungan-Nya. Hasilnya, orang yang berilmu akan tunduk, kerdil dan hina berhadapan dengan kekuasaan dan keagungan Allah SWT .
Dalam surat Ali Imran (3) ayat ke-18, Allah SWT berfirman:
Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 3:18).”
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir membuat suatu rumusan yang menarik bahwa apabila Allah SWT menyandingkan "diri-Nya" dengan para malaikat dan orang yang berilmu tentang penyaksian "keesaan Allah SWT dan kemutlakkan-Nya sebagai Tuhan yang layak disembah", hal tersebut adalah suatu penghormatan agung secara khusus kepada orang-orang yang berilmu yang sentiasa bergerak di atas rel kebenaran dan menjunjung tinggi prinsip ini serta berpegang teguh dengannya dalam semua keadaan dan suasana.
Rekaman penghormatan ini kekal sebagaimana kekalnya kitab wahyu ini sebagai peringatan kepada golongan berilmu bahwa mereka amat istimewa di sisi Allah SWT. Mereka diangkat sejajar dengan para malaikat yang menjadi saksi Keesaan Allah SWT. Mereka memikul amanah Allah SWT karena mereka adalah pewaris para nabi.
Sifat ikhlas, berani, dan tegas serta sentiasa istiqamah akan selalu ada dalam diri orang yang berilmu. Mereka tidak mengharapkan ganjaran, sanjungan, dan pujian dari manusia. Keikhlasan mereka adalah hasil daripada ramuan kecintaan dan keyakinan kepada prinsip kebenaran yang menjadi tonggak pegangan mereka.
Orang yang berilmu amat menjunjung tinggi prinsip kebenaran. Mereka tidak menafikan kebenaran dari pihak lain dan tidak pula merasa kebenaran hanya mutlak ada pada dirinya. Berlapang dada dan merendah diri adalah akhlak murni orang yang berilmu.
Mereka tidak melihat dari siapa atau dari golongan mana kebenaran tersebut berasal. Kebenaran sejati yang menjadi pegangan mereka adalah apabila datangnya daripada nash Al-Qur’an al-Karim dan as-Sunnah an-Nabawiyyah. Sebagaimana keikhlasan Imam Malik yang mendorongnya mencegah Khalifah al-Mahdi dan al-Rashid yang akan menjadikan kitab karangannya al-Muwatta' sebagai undang-undang dasar kerajaan. Sebagaimana juga kerendahan hati Imam al-Syafi'i yang pernah menyatakan bahwa :"Barang siapa yang mendapati hadis Rasulullah SAW (yang shahih) yang tidak sesuai dengan pendapatku, maka menjadi kewajibannya untuk mengikuti nash hadis shahih tersebut dan meninggalkan pendapatku".
Keberanian orang yang berilmu adalah hasil keyakinan teguh kepada kekuatan dan kekuasaan Allah SWT. Firman Allah SWT dalam surat Fatir (35) : 28:
Artinya: "...................Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (Orang-orang yang berilmu). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."
Orang-orang yang berilmu memiliki keyakinan bahwa hanya Allah yang Maha Berkuasa atas sekalian makhluk-Nya. Kehinaan di sisi manusia karena mempertahankan prinsip kebenaran dipandang lebih baik dan mulia daripada kehinaan di sisi Allah SWT, karena menampik kebenaran hanya untuk menarik perhatian dan mendapatkan pujian manusia. Mereka amat yakin bahwa menyatakan kebenaran dan perkara hak adalah amanah Allah SWT dan mereka pun mengetahui resikonya amat besar.
Peringatan Allah dan Rasul-Nya sangat keras terhadap kalangan yang menyembunyikan kebenaran/ilmu, sebagaimana firman-Nya:

Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati." (al-Baqarah: 159)
Lebih jauh, Rasulullah SAW bersabda:
§  "Janganlah sekali-kali wibawa manusia sampai menghalangi seseorang untuk mengatakan sesuatu yang hak jika ia mengetahuinya, menyaksikannya, atau mendengarnya. Sebab tindakannya itu tidak akan mendekatkan ajal dan tidak akan menjauhkannya dari rezeki." (HR Ahmad)
Rasulullah SAW juga bersabda:
§  "Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu, akan dikendali mulutnya oleh Allah pada hari kiamat dengan kendali dari api neraka." (HR Ibnu Hibban di dalam kitab sahih beliau. Juga diriwayatkan oleh al-Hakim. Al Hakim dan adz-Dzahabi berpendapat bahwa hadis ini sahih)
Orang yang berilmu mengetahui bagaimana kerusakan yang akan timbul dari amal yang tanpa ilmu, sebagaimana yang dikatakan khalifah Umar bin Abdul Aziz "Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka dia banyak merusak daripada memperbaiki"
Adapun yang menjadi panutan orang-orang berilmu adalah Rasulullah SAW dan para sahabat beliau yang mulia. Karena hanya dengan mengikuti jalan Rasulullah dan para sahabatlah yang akan memasukkan seorang muslim kedalam golongan yang selamat. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:
§  "Semua golongan tersebut tempatnya di neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku meniti diatasnya"(HR Tirmidzi)
Imam Bukhari dalam kitabnya "Berpegang Teguh pada Kitab dan Sunnah" memberi judul salah satu dari sekian bab (yang artinya):
§  "Nabi SAW mengajarkan kepada umat-nya, baik laki-laki maupun wanita, apa yang diajarkan Allah kepadanya tanpa menggunakan pendapat atau pemisalan."
Al-Muhallab berkata ketika mengomentari bab Bukhari ini: "Maksud Bukhari bahwa seorang yang berilmu apabila dia berbicara dengan menggunakan nash, tidak perlu lagi berbicara berdasarkan pendapat dan qiyasnya (analogi)."
Dalam surat al-Taubah (9) ayat 122, Allah berfirman:
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan ke pada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Dari ayat di atas, dapat dipetik bahwasanya menuntut ilmu pengetahuan adalah suatu perintah (amar) sehingga dapat dikatakan suatu kewajiban. Yang di maksud ilmu pengetahuan diisi adalah ilmu agama. Akan tetapi harus kita sadari bahwa agama adalah merupakan pedoman bagi kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga ilmu yang tersimpul dalam agama tidak semata yang menjurus kepada urusan ukhrawi, tetapi juga ilmu yang mengarah kepada duniawi. Dengan ungkapan lain, Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk menuntut ilmu pengetahuan tentang urusan keduniaan sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, yakni untuk kebahagiaan dan kemaslahatan.
Dalam surat Al-Mujaadillah (58) ayat 11, Allah SWT telah menegaskan bahwa Dia akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan lebih tinggi beberapa derajat dari manusia lainnya.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: Berlapang-lapanglah dalam majlis, lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 58:11)”
Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin juz I hal 49 menyebutkan: “Barangsiapa yang berilmu, dia dapat membimbing manusia dan memanfaatkan ilmunya bagi orang lain, dia bagaikan matahari yang menerangi dirinya dan orang lain, dia bagaikan minyak kesturi yang harum dan menyebarkan semerbak keharumannya kepada setiap orang yang berpapasan dengannya.”

D.    Tanggung Jawab Ilmuan terhadap Lingkungan
Allah telah menciptakan manusia ke dunia ini dengan dua tugas utama, yaitu sebagai hamba dan wakil Tuhan dalam mengelola bumi. Esensi dari hamba adalah ketaatan, kepatuhan dan ketundukan terhadap segala perintah dan aturan-aturan hukum-Nya yang berisi kebenaran hakiki dan absolut serta keadilan yang sesungguhnya.
Al-Qur’an dalam surat Hud (11) ayat 61, menyebutkan bahwa tanggung jawab manusia termasuk ilmuan adalah sebagai pemakmur bumi bukan sebagai pengrusaknya, lebih jelas dalam ayat berikut ini:
Artinya: “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Ilah selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya). (QS. 11:61)”
Adapun sebagai wakil Tuhan di muka bumi, manusia memiliki tanggungjawab yang besar untuk menjaga kelestarian, keseimbangan alam lingkungan tempat tinggalnya. Manusia diberikan kebebasan untuk menggali dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk kemaslahatan, kebaikan, ketentraman dan kemakmurannya. Untuk dapat melakukan semua itu manusia memerlukan keseimbangan IMTAK dan IPTEK.

E.     Penerapan Ilmu Pengetahuan (Sains) dalam Peribadatan Islam
Hubungan antara ilmu pengetahuan (sains) dan agama seharusnya merupakan hubungan kerjasama. Agama akan menjadi takhyul jika tidak menerima penelitian dan penyelidikan yang diungkapkan oleh sains. Adapun sains akan berupa pengetahuan yang dangkal bahkan berbahaya jika tidak diikuti oleh perhatian terhadap moral keagamaan. Lebih dari itu, sains membantu umat manusia untuk mempercayai eksistensi tuhan dengan kekuasaan dan pengetahuan-Nya, yang terwakilkan dalam alam semesta. Sains sangat diperlukan untuk melaksanakan perintah-perintah Allah dalam peribadatan. Perintah menghadap kiblat (ke arah Masjidil Haram) di Mekah bila melakukan shalat sangat memerlukan sains dalam penetapannya. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 150:
وَ مِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ سَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ......
Artinya: Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.................” (QS al-Baqarah (2): 150).
Dengan ilmu astronomi (ilmu falak) dan dibantu dengan matematika, terutama trigonometri bola, arah kiblat dapat dihitung untuk semua tempat di permukaan bumi ini. Biasanya rumus yang dipakai untuk menghitung arah kiblat adalah Cotan B = sin a cotan b: sin C - cos a cotan C.
Sejarah perkembangan penetapan arah kiblat selama ini sangat erat kaitannya dengan sains. Penggunaan produk sains seperti kompas, Theodolit dan GPS (Global Positioning System) adalah bukti dari penerapan sains dalam peribadatan umat Islam. Hanya saja untuk akurasi (ketelitian) ketiga alat tersebut dalam penetapan arah kiblat belum begitu baik. Akurasi yang baik untuk pengukuran arah kiblat adalah dengan Posisi Matahari. Metode ini berdasarkan perkembangan teknologi dan astronomy, posisi Matahari dapat dihitung dengan ketelitian 0.01 detik busur (0.01”).  Jika dibandingkan dengan metode yang lain, akurasi metode ini jauh lebih teliti. Perhitungan posisi Matahari dengan ketelitian tinggi dapat dilakukan dengan teori VSOP87 (Variations Séculaires des Orbites Planétaires), yang awalnya dipublikasikan oleh P.Bretagnon of the Bureau des Longitudes of Paris dengan nama VSOP82, kemudian diperbarui pada 1987 menjadi VSOP87. Oleh karena itu, arah kiblat dapat ditentukan berdasarkan posisi Matahari. Banyak cara mengukur arah kiblat berdasarkan posisi Matahari, antara lain: saat matahari berada di atas ka’bah (Mekah), saat matahari berada di jalur kiblat, bayang-bayang matahari saat waktu tertentu, dan lain-lain.
Pada saat-saat tertentu pergerakan musiman matahari akan menyebabkan pada suatu ketika posisi matahari berada tepat di atas ka’bah di kota Mekah. Selama setahun terjadi dua kali peristiwa istiwa utama matahari tepat di atas Ka’bah atau yang disebut dengan Istiwa A’zam atau Zawal atau Rasdhul Qiblah (rashdul kiblat). Fenomena istiwa utama terjadi akibat gerakan semu matahari yang disebut gerak tahunan matahari (musim) sebab selama bumi beredar mengelilingi matahari sumbu bumi miring 66,5˚ terhadap bidang edarnya sehingga selama setahun terlihat di bumi matahari mengalami pergeseran 23,5˚ Lintang Utara sampai 23,5˚ Lintang Selatan. Istiwa A'zam di Mekah terjadi dua kali dalam setahun yaitu pada tanggal 28 Mei sekitar pukul 12.18 Waktu Mekah (bertepatan dengan jam 16:18 WIB) dan 16 Juli sekitar pukul 12.27 Waktu Mekah (bertepatan dengan jam 16:27 WIB).
Teknik penentuan arah kiblat menggunakan Istiwa Utama (rashdul kiblat) yang ketelitiannya tinggi ini sangat disarankan oleh para ahli Ilmu Falak, apalagi caranya tidak sulit dan tidak banyak biaya. Berikut adalah tekniknya: pertama, tentukan lokasi masjid/mushalla/langgar atau rumah yang akan diluruskan arah kiblatnya. Kedua, sediakan tongkat lurus sepanjang 1 sampai 2 meter dan peralatan untuk memasangnya. Siapkan juga jam/arloji yang sudah dikalibrasi waktunya secara tepat dengan radio (RRI)/televisi (TVRI)/internet. Berikutnya, cari lokasi di samping Selatan atau di halaman masjid yang masih mendapatkan penyinaran matahari pada jam-jam tersebut serta memiliki permukaan tanah yang datar dan pasang tongkat secara tegak lurus dengan bantuan pelurus berupa tali dan bandul atau waterpass. Persiapan jangan terlalu mendekati waktu terjadinya istiwa utama agar tidak terburu-buru. Tunggu sampai saat istiwa utama terjadi amatilah bayangan matahari yang terjadi (toleransi +/- 2 menit). Di Indonesia peristiwa Istiwa Utama terjadi pada sore hari sehingga arah bayangan menuju ke Timur. Sedangkan bayangan yang menuju ke arah Barat agak serong ke Utara merupakan arah kiblat yang tepat. Selanjutnya, gunakan tali, susunan tegel lantai, atau pantulan sinar matahari menggunakan cermin untuk meluruskan lokasi ini ke dalam masjid / rumah dengan menyejajarkannya terhadap arah bayangan. Tidak hanya tongkat yang dapat digunakan untuk melihat bayangan. Menara, sisi selatan bangunan masjid, tiang listrik, tiang bendera atau benda-benda lain yang tegak lurus. Atau dengan teknik lain misalnya bandul yang kita gantung menggunakan tali sepanjang beberapa meter maka bayangannya dapat kita gunakan untuk menentukan arah kiblat.  
Lebih jauh, pembagian waris menurut ketentuan Al-Quran sangat mudah dilaksanakan dengan matematika dan oleh para ulama pakar faraid disusunlah matematika yang khusus untuk keperluan tersebut. Contoh lain dari penerapan sains terhadap peribadatan dalam Islam adalah penetapan waktu-waktu shalat fardu. Rasulullah SAW dalam hadis menetapkan waktu-wajtu shalat tersebut berdasarkan peredaran matahari setiap harinya. Dengan ilmu astronomi (ilmu pengetahuan/sains) penetapan tersebut menjadi lebih mudah. Misalnya waktu Shubuh dimulai bila tinggi matahari - 17˚, waktu maghrib dimulai bila tinggi matahari + 17˚. Selain itu, penetapan awal dan akhir Rhamadhan atau bulan qamariah lainnya juga memerlukan sains dalam prakteknya.



[1] Lihat al-Ghazali, “Risalah al-laduniyyah” dalam Qushur al-awwali, yang dihimpun oleh Musthafa Muhammad Abu Al-’Ala, (Mesir: Muktabah Al-Jundi, 1970), hal. 112.
[2] Menurut Al-Ghazali, ilmu laduni sebagai ilmu yang terbuka dalam rahasia hati “tanpa perantara” karena datang langsung dari Tuhan ke dalam jiwa manusia. Lihat Ibid., hal. 116.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar