Selasa, 10 Juli 2012

BAB IX KERUKUNAN



BAB VI

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA

A.    Agama Islam merupakan Rahmat bagi Seluruh Alam
Kata Islam berarti damai, selamat, sejahtera, penyerahan diri, taat, tunduk dan patuh kepada tuhan. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mengandung ajaran agar penganutnya mewujudkan dan menjaga perdamaian, keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia dan semua makhluk Tuhan sebagai bukti ketaatan dan ketundukannya kepada ketentuanketentuan Tuhan.
Menurut ajaran Islam, manusia diserahi amanat untuk menjadi khalifah (wakil Tuhan) dalam mengelola bumi harus bisa menciptakan kemaslahatan bagi sesama makhluk Tuhan. Artinya bahwa, setiap perbuatan yang dilakukan manusia harus memberikan kebaikan dan tidak boleh merugikan atau menyakiti pihak lain dengan cara menegakkan aturan Tuhan. Itulah wujud kasih sayang dari agama Islam sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Anbiya (21) : 107, ketika menjelaskan misi Rasulullah untuk menyampaikan agama Islam bagi umat manusia, sebagai berikut:
Artinya: “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS Al-Anbiya (21): 107).”
Ayat di atas sering dijadikan hujjah bahwa Islam adalah agama rahmat. Itu benar. Rahmat Islam itu luas, seluas dan seluwes ajaran Islam itu sendiri. Itu pun juga pemahaman yang benar. Islam sebagai rahmat bagi alam semesta adalah tujuan bukan proses. Artinya untuk menjadi rahmat bagi alam semesta bisa jadi umat Islam harus melalui beberapa ujian, kesulitan atau peperangan seperti di zaman Rasulullah. Walau tidak selalu harus melalui langkah sulit apalagi perang, namun sejarah manapun selalu mengatakan kedamaian dan kesejukan selalu didapatkan dengan perjuangan. Misalnya, untuk menjadikan sebuah kota menjadi aman diperlukan kerja keras polisi dan aparat hukum untuk memberi pelajaran bagi pelanggar hukum.
Kata rahmat (bahasa arab: rahmah) adalah riqqah taqtadli al-ihsan ila al- marhum (perasaan halus/ kasih yang mendorong memberikan kebaikan kepada yang dikasihi). Dalam penggunaannya kata itu bisa mencakup dua batasan yakni rasa kasih dan memberi kebaikan, atau bisa juga salah satu dari kedua hal tersebut.
Lebih jauh, Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhannya). Dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS al-Baqarah/2: 208)”
Dari ayat tersebut, diketahui bahwa ada banyak dimensi dari universalitas ajaran Islam. Di antaranya adalah, dimensi rahmat. Rahmat Allah yang bernama Islam meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia. Allah telah mengutus Rasul-Nya sebagai rahmat bagi seluruh manusia agar mereka mengambil petunjuk Allah. Dan tidak akan mendapatkan petunjuk-Nya, kecuali mereka yang bersungguh-sungguh mencari keridhaan-Nya. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik,” (QS al-‘Ankabuut: 69).
Jadi logikanya, agar tercipta kesejukan, kedamaian dan toleransi yang baik maka hukum Islam harus diupayakan dapat dijalankan secara kaffah. Sebaliknya, jangan dikatakan bahwa umat Islam harus bersifat sejuk, damai dan toleransi kepada pelanggar hukum dengan alasan Islam adalah agama rahmat.
Adapun bentuk-bentuk Rahmat Islam diantaranya adalah:
1)      Manhaj (ajaran).
Di antara rahmat Allah yang luas adalah manhaj atau ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW berupa manhaj yang menjawab kebahagiaan seluruh umat manusia, jauh dari kesusahan dan menuntunnya ke puncak kesempurnaan yang hakiki. Allah SWT berfirman, “Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah),” (QS. Thahaa: 2-3). Di ayat lain, Dia berfirman, “…Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu…,” (QS Al-Maidah: 3).
2)      Al-Qur’an.
Al-Qur’an telah meletakkan dasar-dasar atau pokok-pokok ajaran yang abadi dan permanen bagi kehidupan manusia yang selalu dinamis. Kitab suci terakhir ini memberikan kesempatan bagi manusia untuk beristimbath (mengambil kesimpulan) terhadap hukum-hukum yang bersifat furu’iyah. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari tuntutan dinamika kehidupannya. Begitu juga kesempatan untuk menemukan inovasi dalam hal sarana pelaksanaannya sesuai dengan tuntutan zaman dan kondisi kehidupan, yang semuanya itu tidak boleh bertentangan dengan ushul atau pokok-pokok ajaran yang permanen.
Dari sini bisa kita pahami bahwa Al-Qur’an itu benar-benar sempurna dalam ajarannya. Tidak ada satu pun masalah dalam kehidupan ini kecuali Al-Qur’an telah memberikan petunjuk dan solusi. Allah berfirman, “Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan,” (QS al-An’aam: 38). Dalam ayat lain berbunyi, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri,” (QS an-Nahl: 89).
3)      Penyempurna Kehidupan Manusia
Di antara rahmat Islam adalah keberadaannya sebagai penyempurna kebutuhan manusia dalam tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Rahmat Islam adalah meningkatkan dan melengkapi kebutuhan manusia agar menjadi lebih sempurna, bukan membatasi potensi manusia. Islam tidak pernah mematikan potensi manusia, Islam juga tidak pernah mengharamkan manusia untuk menikmati hasil karyanya dalam bentuk kebaikan-kebaikan dunia. “Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” (QS al-A`raf: 32).
Islam memberi petunjuk mana yang baik dan mana yang buruk, sedang manusia sering tidak mengetahuinya. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,” (QS al-Baqarah: 216).
4)      Jalan Untuk Kebaikan
Rahmat dalam Islam juga bisa berupa ajarannya yang berisi jalan / cara mencapai kehidupan yang lebih baik, dunia dan akhirat. Hanya kebanyakan manusia memandang jalan Islam tersebut memiliki beban yang berat, seperti kewajiban shalat dan zakat, kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, kewajiban memakai jilbab bagi wanita dewasa, dan sebagainya. Padahal Allah SWT telah berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya,” (QS al-Baqarah: 286). Pada dasarnya, kewajiban tersebut hanyalah untuk kebaikan manusia itu sendiri. “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri,” (QS al-Isra’: 7).
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ajaran Islam itu adalah rahmat dalam artian yang luas, bukan rahmat yang dipahami oleh sebagian orang menurut seleranya sendiri. Rahmat dalam Islam adalah rahmat yang sesuai dengan kehendak Allah dan ajaran-Nya, baik berupa perintah atau larangan. Memerangi kemaksiatan itu adalah rahmat, sekalipun sebagian orang tidak setuju dengan tindakan tersebut. Jihad melawan orang kafir yang zalim adalah rahmat, meskipun sekelompok manusia tidak suka jihad dan menganggapnya sebagai tindakan kekerasan atau terorisme. Allah berfirman, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,” (QS al-Baqarah: 216).

B.     Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Insaniyah
Artinya: “Orang-orang mukmin sesungguhnya bersaudara; maka rukunkanlah kedua saudaramu yang berselisih dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (Q.s. Al-Hujurat [49]: 10).”
Manusia beriman mempunyai dua dimensi hubungan yang harus selalu dipelihara dan dilaksanakan, yakni hubungan vertikal dengan Allah SWT melalui shalat dan ibadah-ibadah lainnya, dan hubungan horizontal dengan sesama manusia di masyarakat dalam bentuk perbuatan baik. Mukmin niscaya menjaga harmoni, keseimbangan, equilibrium antara intensitas hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Orientasi hubungan vertikal disimbolkan oleh pencarian keselamatan dan kebaikan hidup di akhirat, sedangkan hubungan horizontal diorientasikan pada perolehan kebaikan dan keselamatan hidup di dunia.
Lebih jauh, ukhuwah atau persaudaraan dalam Islam bukan saja mencirikan kualitas ketaatan seseorang terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya, tetapi juga sekaligus merupakan salah satu kekuatan perekat sosial untuk memperkokoh kebersamaan. Fenomena kebersamaan ini dalam banyak hal dapat memberikan inspirasi solidaritas sehingga tidak ada lagi jurang yang dapat memisahkan silaturahmi di antara sesamanya.
Ukhuwah yang merupakan istilah Arab yang berarti persaudaraan, maksudnya perasaan simpati dan empati antara dua orang atau lebih. Al-Qur’an mengenalkan lima dimensi ukhuwah: (1) persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah), (2) persaudaraan nasab dan perkawinan/semenda (ukhuwah nasabiyah shihriyah), (3) persaudaraan suku dan bangsa (ukhuwah sya’biyah wathaniyah), (4) persaudaraan sesama pemeluk agama (ukhuwah diniyah), (5) persaudaraan seiman-seagama (ukhuwah islamiyah/ imaniyah). Pada paparan ini hanya ditekankan pada ukhuwah islamiyah dan ukhuwah insaniyah.
Terkait dengan ukhuwah islamiyah, berdasarkan dalil-dalil aqli dan naqli dalam bentuk perintah dan justifikasi yang menekankan "ukhuwah Islamiyah" terdapat banyak sekali. Mengingat pentingnya ukhuwah ini, kita memilihnya sebagai kajian disini.
Islam adalah aturan yang unik, individualnya terkait langsung dengan sosial dan sebaliknya dengan satu aturan, maka tujuan-tujuan individu-individu yang terdapat dalam persaudaraan Islam bersifat satu, dan aturannya adalah aturan yang satu. Perbedaan antar individu dalam status sosial, letak geografis, ras maupun ilmu pengetahuan tidak menjadi halangan bagi terwujudnya ukhuwah islamiyah ini. Islam justru memandangnya sebagai modal besar bagi perwujudan ukhuwah itu sendiri.
Dengan menjadikan fenomena alam sebagai ibrah yang menunjukkan perubahan siang dan malam, peredaran galaksi dan keseimbangan yang maujud dialam sekitar merupakan ibrah peraturan dan hukum yang mengagumkan. Benda-benda yang tak memiliki ikhtiar tersebut teratur oleh satu aturan bekerja secara naturalis, atau yang dikenal dengan sunatullah. Hal itu juga merupakan kehendak takwini Allah terhadap alam dan pada diri-diri hamba-Nya yang juga kehendak tasyri’iy. Dengan demikian manusia melalui ikhtiarnya dapat menyelaraskan dirinya dengan unsur-unsur fitrah ini dan membentuk persaudaraan di tengah mereka.
Lebih dari itu, berdasarkan nash di atas, maka persaudaraan mukmin yang satu dengan yang lain merupakan ketetapan syariat. Persatuan, kesatuan dan hubungan harmonis antar anggota masyarakat kecil maupun besar akan melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan keretakan hubungan mengundang lahirnya bencana buat mereka. Untuk menghindarkan keretakan hubungan tersebut, Mukmin niscaya menghindari sikap memperolok pihak atau kelompok lain; menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan atau merendahkan; berprasangka, memata-matai dan menggunjing pihak lain.
Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, surat Al-Hujurat (49) ayat 11-12 berikut ini:
Artinya: “Hai orang-orang beriman! Janganlah ada suatu golongan memperolok golongan yang lain; boleh jadi yang diperolok lebih baik daripada yang memperolok. Juga jangan ada perempuan menertawakan perempuan yang lain; boleh jadi yang diperolok lebih baik daripada yang memperolok. Janganlah kamu saling mencela dan memberi nama ejekan. Sungguh jahat nama yang buruk itu setelah kamu beriman. Barang siapa tidak bertobat, orang itulah yang zalim. Hai orang-orang beriman! Jauhilah prasangka sebanyak mungkin; karena sebagian prasangka adalah dosa. Dan janganlah saling memata-matai, jangan saling menggunjing. Adakah di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tidak, kamu akan merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah. Allah selalu menerima tobat, dan Maha Pengasih.”
Terlaksananya persaudaraan Muslim merupakan idaman umat Islam. Atas dasar itulah Rasulullah SAW menyampaikan khutbah dalam ibadah haji perpisahan, sebagai berikut:
§  “Wahai sekalian manusia! Camkanlah kata-kataku, karena aku tidak tahu apakah tahun depan aku masih diberi lagi kesempatan untuk berdiri di depan kalian di tempat ini.”
§  “Jiwa dan harta benda kalian adalah suci, dan haram di antara kalian, sebagaimana hari dan bulan ini adalah suci bagi kalian semua, hingga kalian menghadap Allah SWT. Dan ingatlah, kalian akan menghadap Allah, yang akan menuntut kalian atas perbuatan-perbuatan yang kalian lakukan.”
§  “Wahai manusia! Kalian mempunyai hak atas istri-istri kalian, dan istri-istri kalian mempunyai hak atas kalian. Perlakukanlah istri-istri kalian dengan cinta dan kasih sayang, karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanat Allah.”
§  “Kebangsawanan di masa lalu diletakkan di bawah kakiku. Orang Arab tidak lebih unggul dari bangsa non-Arab, dan bangsa non-Arab tidak lebih unggul atas bangsa Arab. Semua adalah anak Adam, dan Adam tercipta dari tanah.”
§  “Wahai manusia! Dengar dan pahami kata-kataku! Ketahuilah, bahwasanya sesama muslim adalah saudara. Kalian semua diikat dalam satu persaudaraan. Harta seseorang tidak boleh menjadi milik orang lain kecuali diberikan dengan rela hati. Lindungilah diri kalian dari berbuat aniaya.”
§  “Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara; selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat: Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah. Dan hendaklah yang hadir di sini menyampaikan kepada orang yang tidak hadir. Siapa tahu, orang yang diberi tahu lebih memahami daripada orang yang mendengarnya.”
Ukhuwah Islamiyah berorientasi pada maslahat keagamaan bersama dengan tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa (QS Al-Maidah/5:2); saling ingat-mengingatkan (QS Al-‘Ashr/103:3); musyawarah (QS Asy-Syura/42:38); sikap proaktif (QS Ali Imran/3:104, QS An-Nisa`/4:85); toleransi (QS Al-Hujurat/49:11), dan keteladanan (QS An-Nisa’/4:85). Normativitas ukhuwah imaniyah tidak menafikan historisitas perselisihan intern umat Mukmin. Maka setiap Mukmin bertanggung jawab mewujudkan persaudaraan seiman dan seagama tersebut.
Lebih dari itu, berikut merupakan beberapa contoh sikap yang harus dikembangkan antara sesama muslim:
1)      Bermusyawarah dan memilih orang yang bertakwa dan berakhlaq karimah sebagai pemimpin;
2)      Tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan;
3)      Bersikap sopan dan lemah lembut;
4)      Menjalin hubungan sillaturrahmi dan melakukan rekonsiliasi (perdamaian);
5)      Menghormati ulama shaleh/ahli ilmu;
6)      Dilarang mencela diri sendiri dan meremehkan sesama mukmin;
7)      Dilarang menggunjing kepada sesama manusia;
8)      Dilarang memanggil dengan panggilan yang tidak baik/ “paraban/ wadanan” yang dapat merendahkan martabat orang yang bersangkutan;
9)      Hormat kepada orang tua dan sayang pada orang yang lebih muda;
10)  Berbuat kebaikan kepada kaum kerabat yang dekat dan jauh;
11)  Berbuat kebaikan kepada tetangga dekat dan tetangga yang jauh;
12)  Menolong orang fakir miskin, ibnu sabil, dan anak yatim;
13)  Menghormati/ mengasihi mualaf (orang yang baru masuk Islam);
14)  Semangat berqurban untuk kepentingan ukhuwah;
15)  Mendoakan dan memohonkan ampunan kepada Allah untuk kaum mukminin.
Adapun mengenai ukhuwah insaniyah, atau dikenal sebagai konsep persaudaraan sesama manusia dilandasi ajaran, bahwa semua umat manusia adalah makhluk Tuhan. Walaupun Allah SWT telah memberikan petunjuk jalan yang benar melalui agama Islam, tetapi Allah juga memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih jalan hidupnya, disitulah kita dapati keadilan Allah SWT. Allah menegaskan dalam Surat Al-Hujuraat (49) ayat 13 tentang persaudaran yang tidak hanya tertuju pada sesama muslim melainkan juga kepada sesama warga masyarakat yang non muslim:
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Lebih jauh, berikut adalah beberapa teladan dari Rasulullah SAW terkait ukhuwah insaniyah:
1)      Kisah Rasulullah SAW dengan si pengemis Yahudi Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, "Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya". Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW.  Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat. Setelah wafatnya Rasulullah SAW,  tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain dan tidak bukan merupakan isteri Rasulullah SAW dan beliau bertanya  kepada anaknya itu, "Anakku, adakah kebiasaan kekasihku (Muhammad SAW) yang belum aku kerjakan?". Aisyah RA menjawab, "Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja". "Apakah Itu?", tanya Abubakar RA. "Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada di sana ", kata Aisyah RA. Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik, "Siapakah kamu?". Abubakar RA menjawab, "Aku orang yang biasa (mendatangi engkau)." "Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku", bantah si pengemis buta itu. "Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku", pengemis itu melanjutkan perkataannya. Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, "Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW". Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, dan kemudian berkata, "Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia...Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim.
2)      Di peperangan Uhud Nabi SAW terluka pada muka dan tanggal beberapa giginya. Berkatalah salah seorang sahabatnya: “Cobalah tuan doakan agar mereka celaka”. Nabi SAW menjawab: “Aku sekali-kali tidak diutus untuk melaknat seseorang, tetapi aku diutus untuk mengajak kepada kebaikan dan rahmat”. Lalu beliau mengangkat tangannya kepada Allah Yang Maha Mulia dan berdoa: “Wahai Tuhanku ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka orang yang tidak mengetahui”. (Hadis).
3)      Dalam perang Uhud juga Nabi SAW memaafkan seorang budak hitam bernama Wahsyi, karena apabila berhasil membunuh paman Nabi bernama Hamzah bin Abdul Muthalib maka dia akan dibebaskan oleh tuannya. Peristiwa pembunuhan Hamzah oleh Wahsyi telah berhasil, Wahsyi telah dimerdekakan. Wahsyi telah ditangkap oleh Rasulullah SAW tetapi dia dimaafkan oleh Rasulullah SAW  dan kemudian Wahsyi memeluk agama Islam berkat akhlak Rasulullah.
4)      Peristiwa lainnya adalah “Du’tsur seorang Arab kafir Quraisy telah menguasai Rasulullah SAW ketika sedang tidur di bawah pohon rindang. Du’tsur menghunuskan pedang ke hadapan Nabi, sambil mengancam dan bertanya: “Siapa yang dapat membelamu sekarang ini?” Dengan tegas Nabi menjawab: “Allah”. Du’tsur gemetar sehingga pedangnya jatuh dan kontan pedang direbut oleh Nabi lalu menghunuskannya ke hadapan Du’tsur sambil Nabi bertanya: “Siapakah yang dapat membelamu sekarang ini”? Du’tsur menjawab (dengan gemetar) “tak seorangpun”. Du’tsur dimaafkan oleh Nabi dan dibebaskannya pulang, lalu Du’tsur menceritakan kisahnya itu kepada kawan-kawanya, dan akhirnya Du’tsur pun masuk agama Islam.
5)      Dalam peperangan Khaibar (perkampungan Yahudi), Zainab binti Al-Harits isteri Salam  bin Misykam (salah seorang pemimpin Yahudi). Zainab berhasil membunuh Bisyr bin Baraa’ bin Ma’rur dengan membubuhkan racun ke paha kambing yang disuguhkan olehnya. Sebenarnya yang akan diracun adalah Bisyr dan Rasulullah SAW. Tetapi Rasulullah mendapat pemberitahuan dari Allah sehingga racun di paha kambing itu tidak dimakannya. Namun Si wanita Yahudi ini ketika telah ditangkap oleh Rasulullah SAW terus dimaafkan.
Selain kisah sebagaimana tersebut di atas, masih pula banyak kisah yang dialami oleh Rasulullah SAW. Yang memberi keteladanan kepada kita bahwa akhlak Rasulullah SAW amat mulia dan dengan kemuliaan akhlaknya itu menjadikan orang-orang kafir  menjadi terbujuk hatin ya untuk memeluk ajgama Islam.
Satu sisi ajaran Islam memerintahkan agar seseorang menjadi pemaaf tetapi pada sisi lain orang Islam dianjurkan harus bersikap tegas kepada orang kafir/ yang ingkar (Q.S. Al-Fath: ayat 29).
Lebih dari itu, berikut merupakan beberapa contoh sikap yang harus dikembangkan antara sesama manusia:
1.      Menyantuni orang Non Muslim yang lemah;
2.      Memaafkan orang Non Muslim yang berbuat kesalahan;
3.      Bergaul dengan sesama manusia dengan baik;
4.      Mengupayakan sikap perdamaian (rekonsiliasi) jika terjadi perselisihan;
5.      Kadang-kadang harus bersikap tegas terhadap orang yang ingkar (kafir);
6.      Memohonkan ampunan Allah untuk mereka di kala mereka masih hidup.

C.    Kebersamaan Umat Beragama dalam Kehidupan Sosial
Seluruh manusia memiliki tanggung jawab yang sama untuk menciptakan keharmonisan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Masing-masing elemen masyarakat berkewajiban untuk melaksanakan peran sosial sesuai dengan bidang tugas dan kemampuannya. Kontribusi yang ditekankan oleh Islam adalah berbuat dan mengajak kepada kebaikan serta mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh kerakusan, ketamakan dan ulah tangan manusia-manusia yang jahil (Q.S: al- Qashash (28) ayat 77):
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenimatan) dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Prinsip agar saling tolong menolong dengan sesama manusia memberikan makna universalisme nilai-nilai kebaikan yang diinginkan oleh setiap manusia. Nilai-nilai tersebut didalam Al-Qur’an diformulasikan dalam “amar ma’ruf nahi munkar”.
Menyikapi kebersamaan umat beragama dalam kehidupan sosial, Islam melalui Al-Qur’an menganjurkan umat Islam mengajak kepada komunitas umat beragam lainnya untuk mencari suatu pandangan yang sama (kalimatun sawa), sebagaimana yang ditegaskan dalam surat Ali Imran (3) : 64 :
Artinya: “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar