BAB VI
KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
A. Agama Islam merupakan Rahmat bagi Seluruh
Alam
Kata Islam
berarti damai, selamat, sejahtera, penyerahan diri, taat, tunduk dan patuh
kepada tuhan. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang
mengandung ajaran agar penganutnya mewujudkan dan menjaga perdamaian,
keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia dan semua makhluk Tuhan
sebagai bukti ketaatan dan ketundukannya kepada ketentuanketentuan Tuhan.
Menurut
ajaran Islam, manusia diserahi amanat untuk menjadi khalifah (wakil
Tuhan) dalam mengelola bumi harus bisa menciptakan kemaslahatan bagi sesama
makhluk Tuhan. Artinya bahwa, setiap perbuatan yang dilakukan manusia harus
memberikan kebaikan dan tidak boleh merugikan atau menyakiti pihak lain dengan
cara menegakkan aturan Tuhan. Itulah wujud kasih sayang dari agama Islam
sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Anbiya (21) : 107, ketika menjelaskan
misi Rasulullah untuk menyampaikan agama Islam bagi umat manusia, sebagai
berikut:

Artinya: “Dan
tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam. (QS Al-Anbiya (21): 107).”
Ayat di atas
sering dijadikan hujjah bahwa Islam adalah agama rahmat. Itu benar.
Rahmat Islam itu luas, seluas dan seluwes ajaran Islam itu sendiri. Itu pun
juga pemahaman yang benar. Islam sebagai rahmat bagi alam semesta adalah tujuan
bukan proses. Artinya untuk menjadi rahmat bagi alam semesta bisa jadi umat
Islam harus melalui beberapa ujian, kesulitan atau peperangan seperti di zaman
Rasulullah. Walau tidak selalu harus melalui langkah sulit apalagi perang,
namun sejarah manapun selalu mengatakan kedamaian dan kesejukan selalu didapatkan
dengan perjuangan. Misalnya, untuk menjadikan sebuah kota menjadi aman diperlukan
kerja keras polisi dan aparat hukum untuk memberi pelajaran bagi pelanggar
hukum.
Kata rahmat
(bahasa arab: rahmah) adalah riqqah taqtadli al-ihsan ila al- marhum
(perasaan halus/ kasih yang mendorong memberikan kebaikan kepada yang
dikasihi). Dalam penggunaannya kata itu bisa mencakup dua batasan yakni rasa
kasih dan memberi kebaikan, atau bisa juga salah satu dari kedua hal tersebut.
Lebih jauh, Allah
SWT berfirman:

Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhannya). Dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan
itu musuh yang nyata bagimu. (QS al-Baqarah/2: 208)”
Dari ayat
tersebut, diketahui bahwa ada banyak dimensi dari universalitas ajaran Islam.
Di antaranya adalah, dimensi rahmat. Rahmat Allah yang bernama Islam meliputi
seluruh dimensi kehidupan manusia. Allah telah mengutus Rasul-Nya sebagai
rahmat bagi seluruh manusia agar mereka mengambil petunjuk Allah. Dan tidak
akan mendapatkan petunjuk-Nya, kecuali mereka yang bersungguh-sungguh mencari
keridhaan-Nya. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik,” (QS al-‘Ankabuut: 69).
Jadi
logikanya, agar tercipta kesejukan, kedamaian dan toleransi yang baik maka
hukum Islam harus diupayakan dapat dijalankan secara kaffah. Sebaliknya,
jangan dikatakan bahwa umat Islam harus bersifat sejuk, damai dan toleransi
kepada pelanggar hukum dengan alasan Islam adalah agama rahmat.
Adapun bentuk-bentuk
Rahmat Islam diantaranya adalah:
1) Manhaj (ajaran).
Di antara
rahmat Allah yang luas adalah manhaj atau ajaran yang dibawa oleh
Rasulullah SAW berupa manhaj yang menjawab kebahagiaan seluruh umat
manusia, jauh dari kesusahan dan menuntunnya ke puncak kesempurnaan yang
hakiki. Allah SWT berfirman, “Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar
kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada
Allah),” (QS. Thahaa: 2-3). Di ayat lain, Dia berfirman, “…Pada hari ini telah
Ku sempurnakan untuk kamu agamamu…,” (QS Al-Maidah: 3).
2) Al-Qur’an.
Al-Qur’an
telah meletakkan dasar-dasar atau pokok-pokok ajaran yang abadi dan permanen bagi
kehidupan manusia yang selalu dinamis. Kitab suci terakhir ini memberikan
kesempatan bagi manusia untuk beristimbath (mengambil kesimpulan)
terhadap hukum-hukum yang bersifat furu’iyah. Hal tersebut merupakan
konsekuensi logis dari tuntutan dinamika kehidupannya. Begitu juga kesempatan
untuk menemukan inovasi dalam hal sarana pelaksanaannya sesuai dengan tuntutan
zaman dan kondisi kehidupan, yang semuanya itu tidak boleh bertentangan dengan
ushul atau pokok-pokok ajaran yang permanen.
Dari sini
bisa kita pahami bahwa Al-Qur’an itu benar-benar sempurna dalam ajarannya.
Tidak ada satu pun masalah dalam kehidupan ini kecuali Al-Qur’an telah
memberikan petunjuk dan solusi. Allah berfirman, “Tiadalah Kami alpakan sesuatu
pun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan,” (QS
al-An’aam: 38). Dalam ayat lain berbunyi, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab
(Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan
kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri,” (QS an-Nahl: 89).
3) Penyempurna Kehidupan Manusia
Di antara
rahmat Islam adalah keberadaannya sebagai penyempurna kebutuhan manusia dalam
tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Rahmat Islam adalah meningkatkan
dan melengkapi kebutuhan manusia agar menjadi lebih sempurna, bukan membatasi
potensi manusia. Islam tidak pernah mematikan potensi manusia, Islam juga tidak
pernah mengharamkan manusia untuk menikmati hasil karyanya dalam bentuk
kebaikan-kebaikan dunia. “Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan
dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah
yang mengharamkan) rezki yang baik?” (QS al-A`raf: 32).
Islam memberi
petunjuk mana yang baik dan mana yang buruk, sedang manusia sering tidak mengetahuinya.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui,” (QS al-Baqarah: 216).
4) Jalan Untuk Kebaikan
Rahmat dalam
Islam juga bisa berupa ajarannya yang berisi jalan / cara mencapai kehidupan yang
lebih baik, dunia dan akhirat. Hanya kebanyakan manusia memandang jalan Islam tersebut
memiliki beban yang berat, seperti kewajiban shalat dan zakat, kewajiban amar
ma’ruf nahi munkar, kewajiban memakai jilbab bagi wanita dewasa, dan
sebagainya. Padahal Allah SWT telah berfirman, “Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya,” (QS al-Baqarah: 286). Pada dasarnya, kewajiban
tersebut hanyalah untuk kebaikan manusia itu sendiri. “Jika kamu berbuat baik
(berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri,” (QS al-Isra’: 7).
Dari uraian
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ajaran Islam itu adalah rahmat dalam
artian yang luas, bukan rahmat yang dipahami oleh sebagian orang menurut
seleranya sendiri. Rahmat dalam Islam adalah rahmat yang sesuai dengan kehendak
Allah dan ajaran-Nya, baik berupa perintah atau larangan. Memerangi kemaksiatan
itu adalah rahmat, sekalipun sebagian orang tidak setuju dengan tindakan
tersebut. Jihad melawan orang kafir yang zalim adalah rahmat, meskipun
sekelompok manusia tidak suka jihad dan menganggapnya sebagai tindakan kekerasan
atau terorisme. Allah berfirman, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang
itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal
ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia
amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,” (QS
al-Baqarah: 216).
B. Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Insaniyah

Artinya: “Orang-orang mukmin sesungguhnya bersaudara;
maka rukunkanlah kedua saudaramu yang berselisih dan bertakwalah kepada Allah
supaya kamu mendapat rahmat (Q.s. Al-Hujurat [49]: 10).”
Manusia beriman mempunyai dua dimensi hubungan yang
harus selalu dipelihara dan dilaksanakan, yakni hubungan vertikal dengan Allah
SWT melalui shalat dan ibadah-ibadah lainnya, dan hubungan horizontal dengan
sesama manusia di masyarakat dalam bentuk perbuatan baik. Mukmin niscaya menjaga
harmoni, keseimbangan, equilibrium antara intensitas hubungan vertikal
dan hubungan horizontal. Orientasi hubungan vertikal disimbolkan oleh pencarian
keselamatan dan kebaikan hidup di akhirat, sedangkan hubungan horizontal
diorientasikan pada perolehan kebaikan dan keselamatan hidup di dunia.
Lebih jauh, ukhuwah atau persaudaraan dalam Islam
bukan saja mencirikan kualitas ketaatan seseorang terhadap ajaran Allah dan
Rasul-Nya, tetapi juga sekaligus merupakan salah satu kekuatan perekat sosial
untuk memperkokoh kebersamaan. Fenomena kebersamaan ini dalam banyak hal dapat
memberikan inspirasi solidaritas sehingga tidak ada lagi jurang yang dapat
memisahkan silaturahmi di antara sesamanya.
Ukhuwah yang merupakan istilah Arab yang berarti
persaudaraan, maksudnya perasaan simpati dan empati antara dua orang atau
lebih. Al-Qur’an mengenalkan lima dimensi ukhuwah: (1) persaudaraan sesama
manusia (ukhuwah insaniyah), (2) persaudaraan nasab dan
perkawinan/semenda (ukhuwah nasabiyah shihriyah), (3) persaudaraan suku
dan bangsa (ukhuwah sya’biyah wathaniyah), (4) persaudaraan sesama
pemeluk agama (ukhuwah diniyah), (5) persaudaraan seiman-seagama (ukhuwah
islamiyah/ imaniyah). Pada paparan ini hanya ditekankan pada ukhuwah
islamiyah dan ukhuwah insaniyah.
Terkait dengan ukhuwah islamiyah, berdasarkan dalil-dalil aqli
dan naqli dalam bentuk perintah dan justifikasi yang menekankan
"ukhuwah Islamiyah" terdapat banyak sekali. Mengingat pentingnya
ukhuwah ini, kita memilihnya sebagai kajian disini.
Islam adalah aturan yang unik, individualnya terkait
langsung dengan sosial dan sebaliknya dengan satu aturan, maka tujuan-tujuan
individu-individu yang terdapat dalam persaudaraan Islam bersifat satu, dan
aturannya adalah aturan yang satu. Perbedaan antar individu dalam status
sosial, letak geografis, ras maupun ilmu pengetahuan tidak menjadi halangan
bagi terwujudnya ukhuwah islamiyah ini. Islam justru memandangnya
sebagai modal besar bagi perwujudan ukhuwah itu sendiri.
Dengan menjadikan fenomena alam sebagai ibrah
yang menunjukkan perubahan siang dan malam, peredaran galaksi dan keseimbangan
yang maujud dialam sekitar merupakan ibrah peraturan dan hukum yang
mengagumkan. Benda-benda yang tak memiliki ikhtiar tersebut teratur oleh satu
aturan bekerja secara naturalis, atau yang dikenal dengan sunatullah.
Hal itu juga merupakan kehendak takwini Allah terhadap alam dan pada
diri-diri hamba-Nya yang juga kehendak tasyri’iy. Dengan demikian
manusia melalui ikhtiarnya dapat menyelaraskan dirinya dengan unsur-unsur
fitrah ini dan membentuk persaudaraan di tengah mereka.
Lebih dari itu, berdasarkan nash di atas, maka persaudaraan
mukmin yang satu dengan yang lain merupakan ketetapan syariat. Persatuan,
kesatuan dan hubungan harmonis antar anggota masyarakat kecil maupun besar akan
melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan
keretakan hubungan mengundang lahirnya bencana buat mereka. Untuk menghindarkan
keretakan hubungan tersebut, Mukmin niscaya menghindari sikap memperolok pihak
atau kelompok lain; menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan
atau merendahkan; berprasangka, memata-matai dan menggunjing pihak lain.
Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, surat Al-Hujurat
(49) ayat 11-12 berikut ini:


Artinya: “Hai orang-orang beriman! Janganlah ada
suatu golongan memperolok golongan yang lain; boleh jadi yang diperolok lebih
baik daripada yang memperolok. Juga jangan ada perempuan menertawakan perempuan
yang lain; boleh jadi yang diperolok lebih baik daripada yang memperolok.
Janganlah kamu saling mencela dan memberi nama ejekan. Sungguh jahat nama yang
buruk itu setelah kamu beriman. Barang siapa tidak bertobat, orang itulah yang
zalim. Hai orang-orang beriman! Jauhilah prasangka sebanyak mungkin; karena
sebagian prasangka adalah dosa. Dan janganlah saling memata-matai, jangan
saling menggunjing. Adakah di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Tidak, kamu akan merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah. Allah
selalu menerima tobat, dan Maha Pengasih.”
Terlaksananya persaudaraan Muslim merupakan idaman umat
Islam. Atas dasar itulah Rasulullah SAW menyampaikan khutbah dalam ibadah haji
perpisahan, sebagai berikut:
§
“Wahai sekalian manusia! Camkanlah kata-kataku,
karena aku tidak tahu apakah tahun depan aku masih diberi lagi kesempatan untuk
berdiri di depan kalian di tempat ini.”
§
“Jiwa dan harta benda kalian adalah suci, dan
haram di antara kalian, sebagaimana hari dan bulan ini adalah suci bagi kalian
semua, hingga kalian menghadap Allah SWT. Dan ingatlah, kalian akan menghadap
Allah, yang akan menuntut kalian atas perbuatan-perbuatan yang kalian lakukan.”
§
“Wahai manusia! Kalian mempunyai hak atas
istri-istri kalian, dan istri-istri kalian mempunyai hak atas kalian.
Perlakukanlah istri-istri kalian dengan cinta dan kasih sayang, karena
sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanat Allah.”
§
“Kebangsawanan di masa lalu diletakkan di bawah
kakiku. Orang Arab tidak lebih unggul dari bangsa non-Arab, dan bangsa non-Arab
tidak lebih unggul atas bangsa Arab. Semua adalah anak Adam, dan Adam tercipta
dari tanah.”
§
“Wahai manusia! Dengar dan pahami kata-kataku!
Ketahuilah, bahwasanya sesama muslim adalah saudara. Kalian semua diikat dalam
satu persaudaraan. Harta seseorang tidak boleh menjadi milik orang lain kecuali
diberikan dengan rela hati. Lindungilah diri kalian dari berbuat aniaya.”
§
“Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara;
selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat:
Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah. Dan hendaklah yang hadir di sini
menyampaikan kepada orang yang tidak hadir. Siapa tahu, orang yang diberi tahu lebih
memahami daripada orang yang mendengarnya.”
Ukhuwah Islamiyah berorientasi pada maslahat
keagamaan bersama dengan tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa (QS
Al-Maidah/5:2); saling ingat-mengingatkan (QS Al-‘Ashr/103:3); musyawarah (QS
Asy-Syura/42:38); sikap proaktif (QS Ali Imran/3:104, QS An-Nisa`/4:85);
toleransi (QS Al-Hujurat/49:11), dan keteladanan (QS An-Nisa’/4:85).
Normativitas ukhuwah imaniyah tidak menafikan historisitas perselisihan intern
umat Mukmin. Maka setiap Mukmin bertanggung jawab mewujudkan persaudaraan
seiman dan seagama tersebut.
Lebih dari itu, berikut merupakan beberapa contoh sikap
yang harus dikembangkan antara sesama muslim:
1)
Bermusyawarah dan memilih orang yang bertakwa dan
berakhlaq karimah sebagai pemimpin;
2)
Tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan;
3)
Bersikap sopan dan lemah lembut;
4)
Menjalin hubungan sillaturrahmi dan melakukan
rekonsiliasi (perdamaian);
5)
Menghormati ulama shaleh/ahli ilmu;
6)
Dilarang mencela diri sendiri dan meremehkan sesama
mukmin;
7)
Dilarang menggunjing kepada sesama manusia;
8)
Dilarang memanggil dengan panggilan yang tidak baik/
“paraban/ wadanan” yang dapat merendahkan martabat orang yang bersangkutan;
9)
Hormat kepada orang tua dan sayang pada orang yang
lebih muda;
10) Berbuat
kebaikan kepada kaum kerabat yang dekat dan jauh;
11) Berbuat
kebaikan kepada tetangga dekat dan tetangga yang jauh;
12) Menolong
orang fakir miskin, ibnu sabil, dan anak yatim;
13) Menghormati/
mengasihi mualaf (orang yang baru masuk Islam);
14) Semangat
berqurban untuk kepentingan ukhuwah;
15) Mendoakan
dan memohonkan ampunan kepada Allah untuk kaum mukminin.
Adapun mengenai ukhuwah insaniyah, atau dikenal sebagai konsep persaudaraan sesama
manusia dilandasi ajaran, bahwa semua umat manusia adalah makhluk Tuhan.
Walaupun Allah SWT telah memberikan petunjuk jalan yang benar melalui agama
Islam, tetapi Allah juga memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk
memilih jalan hidupnya, disitulah kita dapati keadilan Allah SWT. Allah
menegaskan dalam Surat Al-Hujuraat (49) ayat 13 tentang persaudaran yang tidak
hanya tertuju pada sesama muslim melainkan juga kepada sesama warga masyarakat
yang non muslim:

Artinya: “Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Lebih jauh, berikut
adalah beberapa teladan dari Rasulullah SAW terkait ukhuwah insaniyah:
1)
Kisah
Rasulullah SAW dengan si pengemis Yahudi Di sudut pasar Madinah ada seorang
pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang
yang mendekatinya, "Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang
gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka
kalian akan dipengaruhinya". Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW
mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun
Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan
pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini
setiap hari sampai beliau wafat. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan
setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat terdekat
Rasulullah SAW yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang
tidak lain dan tidak bukan merupakan isteri Rasulullah SAW dan beliau
bertanya kepada anaknya itu,
"Anakku, adakah kebiasaan kekasihku (Muhammad SAW) yang belum aku
kerjakan?". Aisyah RA menjawab, "Wahai ayah, engkau adalah seorang
ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan
kecuali satu saja". "Apakah Itu?", tanya Abubakar RA.
"Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan
makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada di sana ", kata Aisyah
RA. Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk
diberikan kepada pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu
memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, si
pengemis marah sambil menghardik, "Siapakah kamu?". Abubakar RA
menjawab, "Aku orang yang biasa (mendatangi engkau)." "Bukan!
Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku", bantah si pengemis buta itu.
"Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak
susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku,
tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia berikan
padaku", pengemis itu melanjutkan perkataannya. Abubakar RA tidak dapat
menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, "Aku
memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari
sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW".
Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA,
dan kemudian berkata, "Benarkah demikian? Selama ini aku selalu
menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia
mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia...Pengemis
Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA saat itu juga
dan sejak hari itu menjadi muslim.
2)
Di peperangan Uhud Nabi SAW terluka pada muka dan
tanggal beberapa giginya. Berkatalah salah seorang sahabatnya: “Cobalah tuan
doakan agar mereka celaka”. Nabi SAW menjawab: “Aku sekali-kali tidak diutus untuk
melaknat seseorang, tetapi aku diutus untuk mengajak kepada kebaikan dan
rahmat”. Lalu beliau mengangkat tangannya kepada Allah Yang Maha Mulia dan
berdoa: “Wahai Tuhanku ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka orang yang tidak
mengetahui”. (Hadis).
3)
Dalam perang Uhud juga Nabi SAW memaafkan seorang budak
hitam bernama Wahsyi, karena apabila berhasil membunuh paman Nabi bernama
Hamzah bin Abdul Muthalib maka dia akan dibebaskan oleh tuannya. Peristiwa
pembunuhan Hamzah oleh Wahsyi telah berhasil, Wahsyi telah dimerdekakan. Wahsyi
telah ditangkap oleh Rasulullah SAW tetapi dia dimaafkan oleh Rasulullah SAW dan kemudian Wahsyi memeluk agama Islam
berkat akhlak Rasulullah.
4)
Peristiwa lainnya adalah “Du’tsur seorang Arab kafir
Quraisy telah menguasai Rasulullah SAW ketika sedang tidur di bawah pohon
rindang. Du’tsur menghunuskan pedang ke hadapan Nabi, sambil mengancam dan
bertanya: “Siapa yang dapat membelamu sekarang ini?” Dengan tegas Nabi
menjawab: “Allah”. Du’tsur gemetar sehingga pedangnya jatuh dan kontan pedang
direbut oleh Nabi lalu menghunuskannya ke hadapan Du’tsur sambil Nabi bertanya:
“Siapakah yang dapat membelamu sekarang ini”? Du’tsur menjawab (dengan gemetar)
“tak seorangpun”. Du’tsur dimaafkan oleh Nabi dan dibebaskannya pulang, lalu Du’tsur
menceritakan kisahnya itu kepada kawan-kawanya, dan akhirnya Du’tsur pun masuk
agama Islam.
5)
Dalam peperangan Khaibar (perkampungan Yahudi), Zainab
binti Al-Harits isteri Salam bin Misykam
(salah seorang pemimpin Yahudi). Zainab berhasil membunuh Bisyr bin Baraa’ bin
Ma’rur dengan membubuhkan racun ke paha kambing yang disuguhkan olehnya.
Sebenarnya yang akan diracun adalah Bisyr dan Rasulullah SAW. Tetapi Rasulullah
mendapat pemberitahuan dari Allah sehingga racun di paha kambing itu tidak
dimakannya. Namun Si wanita Yahudi ini ketika telah ditangkap oleh Rasulullah SAW
terus dimaafkan.
Selain kisah sebagaimana tersebut di atas, masih pula
banyak kisah yang dialami oleh Rasulullah SAW. Yang memberi keteladanan kepada
kita bahwa akhlak Rasulullah SAW amat mulia dan dengan kemuliaan akhlaknya itu
menjadikan orang-orang kafir menjadi
terbujuk hatin ya untuk memeluk ajgama Islam.
Satu sisi ajaran Islam memerintahkan agar seseorang
menjadi pemaaf tetapi pada sisi lain orang Islam dianjurkan harus bersikap
tegas kepada orang kafir/ yang ingkar (Q.S. Al-Fath: ayat 29).
Lebih dari itu, berikut merupakan beberapa contoh sikap
yang harus dikembangkan antara sesama manusia:
1.
Menyantuni orang Non Muslim yang lemah;
2.
Memaafkan orang Non Muslim yang berbuat kesalahan;
3.
Bergaul dengan sesama manusia dengan baik;
4.
Mengupayakan sikap perdamaian (rekonsiliasi) jika
terjadi perselisihan;
5.
Kadang-kadang harus bersikap tegas terhadap orang yang
ingkar (kafir);
6.
Memohonkan ampunan Allah untuk mereka di kala mereka
masih hidup.
C. Kebersamaan Umat Beragama dalam Kehidupan
Sosial
Seluruh
manusia memiliki tanggung jawab yang sama untuk menciptakan keharmonisan dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan. Masing-masing elemen masyarakat berkewajiban
untuk melaksanakan peran sosial sesuai dengan bidang tugas dan kemampuannya.
Kontribusi yang ditekankan oleh Islam adalah berbuat dan mengajak kepada
kebaikan serta mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh kerakusan, ketamakan
dan ulah tangan manusia-manusia yang jahil (Q.S: al- Qashash (28) ayat 77):

Artinya: “Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenimatan) dunia dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Prinsip agar
saling tolong menolong dengan sesama manusia memberikan makna universalisme
nilai-nilai kebaikan yang diinginkan oleh setiap manusia. Nilai-nilai tersebut
didalam Al-Qur’an diformulasikan dalam “amar ma’ruf nahi munkar”.
Menyikapi
kebersamaan umat beragama dalam kehidupan sosial, Islam melalui Al-Qur’an
menganjurkan umat Islam mengajak kepada komunitas umat beragam lainnya untuk
mencari suatu pandangan yang sama (kalimatun sawa), sebagaimana yang
ditegaskan dalam surat Ali Imran (3) : 64 :

Artinya: “Katakanlah:
Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan)
yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah
kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak
(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah. Jika
mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar