BAB-XX
HAK
ASASI MANUSIA DAN
DEMOKRASI DALAM
A. Hak Asasi Manusia dalam Islam
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia
sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat
siapa pun. Hak diartikan sebagai kewenangan atau kewajiban untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Adapun asasi bermakna segala sesuatu yang
bersifat dasar, prinsip dan fundamental yang selalu melekat pada obyeknya.
Sedangkan manusia diartikan sebagai makhluk yang berakal budi. Jadi berdasarkan
analisis semantik dari berbagai kata
kunci di atas, maka dapat dipahami bahwa hak asasi manusia adalah sesuatu yaang
senantiasa melekat dan paling fundamental bagi manusia. Dengan ungkapan lain,
hak asasi manusia adalah suatu hak dasar yang melekat pada diri tiap manusia.
Secara umum, pembagian bidang, jenis dan macam hak asasi manusia
dunia adalah sebagai berikut:
- Hak asasi pribadi / Personal Right
a)
Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah
tempat;
b)
Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan;
Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan;
c)
Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan
agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.
- Hak asasi politik / Political Right
a)
Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan;
b)
Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan;
c)
Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan
organisasi politik lainnya;
d)
Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
- Hak azasi hukum / Legal Equality Right
a)
Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan;
b)
Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns;
c)
Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum;
- Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
a)
Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli;
b)
Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak;
c)
Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa,
hutang-piutang, dll;
d)
Hak kebebasan untuk memiliki susuatu;
e)
Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak.
- Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
a)
Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan;
b)
Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan,
penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
- Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
a)
Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan;
b)
Hak mendapatkan pengajaran;
c)
Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat
dan minat
Jika dibandingkan antara hak asasi manusia dari sudut pandang Barat dan
Islam, maka terdapat perbedaan. Hak asasi manusia menurut pemikiran Barat
semata mata bersifat antroposentris, artinya, segala sesuatu berpusat pada
manusia. Adapun hak asasi manusia dilihat dari sudut pandang Islam bersifat
teosentris, artinya, segala sesuatu berpusat kepada Tuhan. Ini bermakna bahwa
dalam Islam, manusia pertama-pertama harus meyakini ajaran pokok Islam yang
dirumuskan dalam dua kalimat syahadat yakni pengakuan tiada Tuhan selain Allah
dan Muhammad adalah utusan-Nya. Barulah setelah itu manusia melakukan
perbuatan-perbuatan yang baik, menurut isi keyakinannya itu.
Hak-hak asasi manusia memperoleh
landasannya dalam Islam melalui ajarannya yang paling utama, yailu tauhid
(mengesakan Tuhan). Karena itu, hak-hak asasi manusia dalam Islam lebih dipandang dalam
perspektif theosentris. Walau demikian, ajaran tauhid tersebut berimplikasi pada
keharusan prinsip persamaan, persaudaraan dan
keadilan antar sesama manusia, dan prinsip kemerdekaan dan kebebasan manusia.
Prinsip-prinsip tersebut telah menjadi landasan bagi pembentukan peradaban masyarakat
Muslim awal, sehingga menempatkan dunia Islam beberapa abad di depan Barat.
Lebih jauh, setidaknya ada dua hal yang menjadi dasar hak-hak asasi manusia
dalam al-Qur’an. Dasar pertama, yakni Allah menjadikan manusia sebagai mustakhlif
di muka bumi. Ini berarti manusia resmi diberi amanat. Ini berarti manusia
resmi diberi amanat sebagai refresentasi Tuhan (khalifah) di muka bumi.
Dalam menjalankan amanat sebagai khalifah, tugas pokok dan fungsional yang
harus diemban manusia adalah melaksanakan hukum Tuhan di muka bumi dengan cara
yang benar. Implikasinya adalah terdapat hak-hak civil berupa hak-hak politik
(siyasi) pada diri setiap individu.
Dasar kedua, bahwa Allah menjadikan manusia sebagai musta’mir di muka
bumi. Ini sekaligus menunjukkan tugas manusia sebagai pembangun bumui. Ini
sekaligus menunjukkan tugas manusia sebagai pemakmur/pembangun bumi. Ini
berimplikasi bahwa manusia memiliki hak-hak asasi.
Hak-hak asasi manusia dalam Islam dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama
hak-hak Allah (huququllah), yaitu hak-hak manusia terhadap Allah swt
yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah. Kedua, hak-hak manusia (huququl’ibad),
yaitu kewajiban-kewajiban manusia terhadap sesamanya dan terhadap
makhluk-makhluk Allah lainnya. Termasuk hak ini adalah hak al-Istiqrar,
yaitu hak untuk menetap dan berdiam dimuka bumi dan hak hak al-Istimta,
yaitu hak untuk memanfaatkan fasilitas yang ada di muka bumi sebagai rezeki
Tuhan.
Secara detail, dalam WAMY Series On
Islam memerinci hak-hak asasi manusia di Negara Islam, yaitu:
1.
Perlindungan harta dan jiwa, ini sebagaimana ditegaskan
dalam pesan Nabi saat haji wada’, “Harta dan jiwamu haram bagi yang lain hingga
hari kebangkitan;
2.
Perlindungan atas kehormatan, dalilnya adalah surat
Al-Hujurat (49): 11-12;
3.
Kesucian dan jaminan atas kehidupan dan rahasia
pribadi;
4.
Perlindungan atas kemerdekaan pribadi;
5.
Hak menyanggah penguasa yang zalim;
6.
Kebebasan menyatakan pendapat;
7.
Kebebasan berserikat;
8.
Kebebasan menganut agama, sebagaimana bunyi surat
Al-Baqarah (2) ayat 256;
9.
Perlindungan
atas perasaan keagamaan;
10. Perlindungan
dari tindakan penahanan yang sewenang-wenang, hal ini ditegaskan dalam surat
Al-An’am (6): 164;
11. Hak
atas pemenuhan hidup, dalilnya dalam surat Adz-Dzariyat (51): 19.
B. Konsep Demokrasi dalam Islam
Demokrasi secara etimologi berasal dari
kata Yunani, demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa. Sehingga secara asal katanya
demokrasi berarti “rakyat berkuasa” (government or rule by the people).
Adapun secara istilah, maka dikenal bermacam-macam istilah demokrasi. Ada yang
dinamakan demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin,
demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet, demokrasi nasional,
dan sebagainya. Demokrasi secara harafiah merupakan sistem pemerintahan yang
sangat membuka pintu lebar-lebar kepada arus akuntabilitas publik. Demokrasi
adalah sistem pemerintahan yang memberikan penekanan pada fungsi kontrol atau
dengan kata lain check and balance dari semua pos-pos kekuasaan
yang ada. Dari sini diharapkan akan lahir keadilan (justice) yang secara mekanistik memberikan kebaikan kepada seluruh
elemen masyarakat. Hal ini mengakibatkan bahwa demokrasi merupakan system
pemerintahan yang anti otoritarianisme dan kemungkinan kolusi/konspirasi yang
sangat mungkin muncul dalam system monarki dan oligarkhi.
Adapun defenisi demokrasi Islam, maka Wikipedia
Indonesia mendefenisikan Demokrasi Islam sebagai ideologi politik yang
bertujuan untuk menerapkan prinsip-prinsip agama Islam ke dalam kebijakan
publik. Ideologi ini muncul pada awal perjuangan pembebasan atas daerah di
mandat Britania atas Palestina kemudian menyebar akan tetapi di sejumlah
negara-negara dalam pratiknya telah mencair dengan gerakan sekularisasi.
C. Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Islam
Berbicara tentang sistem kenegaraan atau
pemerintahan dalam Islam harus dibedakan antara teori dan praktek. Maksud teori
adalah konsep-konsep yang ditulis dalam nash (Al-qur,an dan sunnah Nabi
Muhammad SAW.) sementara dalam praktek adalah adalah praktek yang dilakukan
kaum muslimnin sepanjang sejarah muslim. Perbedaan ini penting dipahami
terlebih dahulu, sebab dalam banyak kasus, sistem pemerintahan yang berlaku
dalam sejarah muslim adalah tidak sejalan dengan teori yang ingin dibangun Islam
(teoritis). Karena itu
tulisan ini berlandaskan teori, bahwa ketika membahas sistempemerintahan Iislam
harus ada perbedaan antara teori dan praktek. Sejalan dengan itu, pembahsan
berikut merupakan pelacakan terhadap teori sistem pemerintahan Iislam yang ada
dalam nash (al-Qur’an dan
sunnah Nabi SAW), bukan
praktek Muslim.
Hasil pelacakan dari kedua sumber tersebut adalah, ada beberapa
nash yang berbicara tentang prinsip-prinsip dan sistem
pemerintahan/ kenegaraann. Diantaranya adalah:

Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Rabbnya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. 42:38)”

Artinya: “Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. 3:159).”

Artinya: “(Inilah
pernyataan) pemutusan penghubungan daripada Allah dan Rasul-Nya (yang
dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kamu muslimin) telah
mengadakan perjanjian (dengan mereka). (QS. 9:1).”
Dari ketiga ayat al-Qur’an tersebut
dapat ditegaskan beberapa prinsip:
1. Kedaulatan adalah di tangan rakyat (umat),
2. Bentuk pemerintahan adalah berdasarkan musyawarah
(shura);
3. Kepala pemerintah adalah imam atau khalifah, yaitu
pelaksana shari’ah (ajaran agama);
4. Kepala pemerintahan diangkat dan diberhentikan oleh
rakyat (umat).
Ayat lain yang berbicara tentang
kenegeraan adalah adalah al-Nahl (16): 90:

Artinya: “Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu daoat mengambil pelajaran. (QS.
16:90).”
Dan surah an-Nisa ayat 58:

Artinya: “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. (QS. 4:58).”
Dari kedua ayat tersebut memuat adanya
persamaan dan keadilan antar warga negara.
Lebih dari itu ayat al-Nisa (4): 58-70
adalah ayat-ayat tentang dasar pemerintahan.
Masih ayat lain yang berbicara tentang
prinsip-prinsip pemerintahan adalah al-Baqarah(2): 190:

Artinya: “Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas. (QS. 2:190).”
Juga terdapat dalam Al- Hajj (22): 30
sebagai berikut:

Artinya: “(yaitu)
orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang
benar, kecuali karena mereka berkata: Rabb kami hanyalah Allah. Dan sekiranya
Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain,
tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah
ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama
Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. 22:40).”
Dari kedua ayat ini dapat diambil
kesimpulan bahwa Iislam melarang agresi, tetapi juga melarang menyerah. Tujuan
perang setelah mengelakkan agresi (untuk membela diri), seperti tersirat dalam
al-hajj (22): 40, adalah untuk mendirikan masyarakat yang penuh perdamaian,
adl, penuh toleransi dan budi pekerti.
Namun ditegaskan bahwa Iislam
mementingkan perdamaian daripada peperangan, dan harus selalu siap berperang
agar tidak diserang. Prinsip ini tersirat dalam al-Anfal (8): 61:

Artinya: “Dan
jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (QS. 8:61).”
Dan juga dalam al-Anfal (8): 60:

Artinya: “Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada
jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dianiaya (dirugikan). (QS. 8:60).”
Masih nash lain, adalah an-Nahl (16):
91:

Artinya: “Dan
tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya
Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. 16:91).”
Dari nash ini tersirat prinsip
pemerintahan, yaitu harus selalu menepati janji dan tidak mengkhianatinya.
Sedangkan sumber sunnah Nabi Muhammad,
misalnya:
1. Adanya larangan komersialisasi jabatan,
2. Rasulullah SAW selalu bermusyawarah dengan para
sahabat dalam urusan-urusan politik, militer dan keuangan.
Dari sejumlah nash di atas, para ilmuwan
menyimpulkan tiga prinsip umum ketatanegaraan atau pemerintahan Iislam yaitu:
1. Prinsip musyawarah (shura);
2. Prinsip keadilan (al-‘adl);
3. Prinsip egaliteranisme (musawah).
Prinsip demokrasi dalam umumnya sistem
pemerintahan dapat dipadankan dengan prinsip musyawarah yang ditawarkan Iislam.
Demikian Prof. Khoiruddin Nasution berkesimplan dalam bukunya, Pengantar
Studi Islam.
Akan halnya dengan praktek demokrasi
dalam sejarah Muslim secara singkat dan hanya sebatas masalah pergantian
kepemimpinan kepala Negara/pemerintahan (sukseksi) dapat digambarkan demikian. Entuk suksesi yang terjadi
dari kekuasaan Nabi Muhammad SAW kepada Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah
pertama adalah hasil musyawarah kaum muslimin, yang ketika itu terdiri dari
kelompok Anshar dan Muhajirin di Saqifah Bani Sa’adah. Kemudian peralihan dari
Abu Bakar al-Shiddiq kepada ‘Umar bin al-Khattab sebagai khalifah kedua adalah
dengan penunjukkan oleh khaliffah sebelumnya dengan persetujuan kaum muslimin.
Bentuk lain yang muncul ketika peralihan dari ‘Umar bin al-Khattab kepada
‘Usman bin ‘Affan sebagai khalifah ketiga dengan sistem formatur (). Adapun
peralihan dari‘Usman bin ‘Affan kepada Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah
keempat adalah dengan jalan aklamasi. Setelah itu sejarah Muslimin diwarnai
dengan sistem pemerintahan monarki. Bahkan sampai sekarang pun pada umumnya
Negara Arab sistem ini yang berlaku.
Dapat dikatakan, bahwa praktek suksesi
kepemimpinan yang dilakukan keempat khaliffah pertama (khulafa al-rashidin)
masih sejalan dengan prinsip demokrasi (shura) yang diajarkan Islam. Sebab nash
hanya membeikan prinsip, sementara bentuk dapat dipraktekkan dalam sejumlah
variasi sepanjang prinsip musyawarah ada di dalamnya, demikian Prof. Khoiruddin
Nasution berkesimpulan.